Adab berziarah

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan hidup dan mati untuk menguji manusia siapa yang terbaik amalannya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kepada keluarganya, shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik.

Ketahuilah hamba-hamba Allah, sadar atau tidak sadar, kita semua saat ini sama-sama sedang menuju garis akhir kehidupan kita di dunia,  meskipun jaraknya berbeda-beda setiap orang. Ada yang cepat, ada yang lama. Tetapi, perlahan tapi pasti, setiap orang menuju garis akhir kehidupannya di dunia, itulah kematian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali ‘Imran : 185)

Setelah mati, seorang hamba hanya tinggal memetik apa yang selama ini ia tanam di dunia, tidak ada kesempatan kedua untuk menambah amal. jika kebaikan yang ia tanam, itulah yang akan ia panen. Jika keburukan yang ia tanam, maka dialah yang akan merasakannya sendiri. Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk banyak-banyak mengingat kematian. Beliau bersabda,

“أكثروا ذكر هازم اللذات” يعني : الموت.

“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian) ”[1]

Dan di antara cara untuk mengingat kematian adalah dengan berziarah kubur. Banyak sekali manfaat yang dapat dipetik dari amalan berziarah ke kubur. Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kali ini[2] mengingat masih banyaknya kaum muslimin yang salah dalam menyikapi ziarah ini sehingga bukannya manfaat yang mereka raih, akan tetapi ziarah mereka justru mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah Ta’ala  memberikan kita semua petunjuk.

Hukum ziarah kubur

Ziarah kubur adalah sebuah amalan yang disyari’atkan. Dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها

“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah[3]

Bolehkah wanita berziarah kubur?

Para ulama berselisih dalam hal ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ada 5 pendapat ulama dalam masalah ini :

  • Disunnahkan seperti laki-laki
  • Makruh
  • Mubah
  • Haram
  • Dosa besar[4]

Ringkasnya, pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam– adalah wanita juga diperbolehkan untuk berziarah kubur asal tidak sering-sering. Hal ini berdasarkan beberapa alasan :

Pertama: Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sudah lewat :

كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها

“Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”[5]

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita.

Kedua: Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya wanita berziarah lebih shahih daripada hadits yang melarang wanita berziarah. Hadits yang melarang wanita berziarah tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

أن رسول الله لعن زوّارات القبور

“Rasulullah melaknat wanita yang sering berziarah kubur”[6]

Ketiga: Lafazh زوّارات dalam hadits di atas menunjukkan makna wanita yang sering berziarah. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Al Qurthubi : “Laknat dalam hadits ini ditujukan untuk para wanita yang sering berziarah karena itulah sifat yang ditunjukkan lafazh hiperbolik tersebut (yakni زوّارات )”[7]. Oleh karena itu, wanita yang sesekali berziarah tidaklah masuk dalam ancaman hadits ini.

Keempat: Persetujuan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur kemudian beliau hanya memberikan peringatan kepada wanita tersebut seraya berkata,

اتقى الله و اصبرى

“Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah!”[8]

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari perbuatan wanita tersebut. Dan sudah diketahui bahwa taqrir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah.

Kelima: Wanita dan laki-laki sama-sama perlu untuk mengingat kematian, mengingat akhirat, melembutkan hati, dan meneteskan air mata dimana hal-hal tersebut adalah alasan disyari’atkannya ziarah kubur. Kesimpulannya, wanita juga boleh berziarah kubur

Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada para wanita untuk berziarah kubur. Dalilnya adalah hadits dari shahabat Abdullah bin Abi Mulaikah :

أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر، فقلت لها: يا أم المؤمنين من أين أقبلت؟ قالت: من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر، فقلت لها: أليس كان رسول الله نهى عن زيارة القبور؟ قالت: نعم: ثم أمر بزيارتها

“Aisyah suatu hari pulang dari pekuburan. Lalu aku bertanya padanya : “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?” Ia menjawab : “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakr”. Lalu aku berkata kepadanya : “Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?” Ia berkata : “Ya, kemudian beliau memerintahkan untuk berziarah”[9]

Ketujuh: Disebutkan dalam kisah ‘Aisyah yang membuntuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pekuburan Baqi’ dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah,

كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم للاحقون

“Ya Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur-ed)?” Rasulullah menjawab, “Katakanlah : Assalamu’alaykum wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang dating kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian”[10]

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits ini : “Al Hafizh di dalam At Talkhis (5/248) berdalil dengan hadits ini akan bolehnya berziarah kubur bagi wanita”[11]

Dengan berbagai argumen di atas jelaslah bahwa wanita juga diperbolehkan berziarah kubur asalkan tidak sering-sering. Inilah pendapat sejumlah ulama semisal Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Al ‘Aini, Al Qurthubi, Asy Syaukani, Ash Shan’ani, dan lainnya rahimahumullah.[12]

Hikmah ziarah kubur

Ziarah kubur adalah amalan yang sangat bermanfaat baik bagi yang berziarah maupun yang diziarahi. Bagi orang yang berziarah, maka ziarah kubur dapat mengingatkan kepada kematian, melembutkan hati, membuat air mata menetes, mengambil pelajaran, dan membuat zuhud terhadap dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا

“Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat. Dan janganlah kalian mengucapkan al hujr[13][14]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah dibalik ziarah kubur. Ketika seseorang melihat kubur tepat di depan matanya, di tengah suasana yang sepi, ia akan merenung dan menyadari bahwa suatu saat ia akan bernasib sama dengan penghuni kubur yang ada di hadapannya. Terbujur kaku tak berdaya. Ia menyadari bahwa ia tidaklah hidup selamanya. Ia menyadari batas waktu untuk mempersiapkan bekal menuju perjalanan yang sangat panjang yang tiada akhirnya adalah hanya sampai ajalnya tiba saja. Maka ia akan mengetahui hakikat kehidupan di dunia ini dengan sesungguhnya dan ia akan ingat akhirat, bagaimana nasibnya nanti di sana? Apakah surga? Atau malah neraka? Nas-alullahas salaamah wal ‘aafiyah.

Selain itu, ziarah kubur juga bermanfaat bagi mayit yang diziarahi karena orang yang berziarah diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada mayit, mendo’akannya, dan memohonkan ampun untuknya. Tetapi, ini khusus untuk orang yang meninggal di atas Islam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أن النبي كان يخرج إلى البقيع، فيدعو لهم، فسألته عائشة عن ذلك؟ فقال: إني أمرت أن أدعو لهم

“Nabi pernah keluar ke Baqi’, lalu beliau mendo’akan mereka. Maka ‘Aisyah menanyakan hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau menjawab : “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendo’akan mereka””[15]

Adapun jika mayit adalah musyrik atau kafir, maka tidak boleh mendo’akan dan memintakan ampunan untuknya berdasarkan sabda beliau,

زار النبي قبر أمه. فبكى, وأبكى من حوله، فقال: استأذنت ربي في أن أستغفر لها، فلم يؤذن لي، واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي، فزوروا القبور فإنها تذكر الموت

“Nabi pernah menziarahi makam ibu beliau. Lalu beliau menangis. Tangisan beliau tersebut membuat menangis orang-orang disekitarnya. Lalu beliau bersabda : “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengizinkannya. Dan aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka Dia mengizinkannya. Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian[16]

Maka ingatlah hal ini, tujuan utama berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akhirat, bukan untuk sekedar plesir, apalagi meminta-minta kepada mayit yang sudah tidak berdaya lagi.

Adab Islami ziarah kubur

Agar berbuah pahala, maka ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang mulia ini. Berikut ini adab-adab Islami ziarah kubur :

Pertama: Hendaknya mengingat tujuan utama berziarah

Ingatlah selalu hikmah disyari’atkannya ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.

Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas menunjukkan akan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah dari ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran seperti di dalam hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya) : “Karena di dalam ziarah terdapat pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan membuat zuhud terhadap dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka  ziarah tersebut bukanlah ziarah yang diinginkan secara syari’at”[17]

Kedua: Tidak boleh melakukan safar untuk berziarah

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

“Janganlah melakukan perjalanan jauh (dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha”[18]

Ketiga: Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan

“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”[19]

Keempat: Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan

Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan diantara kuburan dengan memakai sandal. Lalu Rasulullah bersabda,

يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا

“Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan melemparnya”[20]

Kelima: Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur”[21]

Keenam: Mendo’akan mayit jika dia seorang muslim

Telah lewat haditsnya di footnote no. 14. Adapun jika mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.

Ketujuh: Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika mendo’akannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat)

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk membuntuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendo’akan mereka.[22] Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan do’a adalah intisari sholat.

Kedelapan: Tidak mengucapkan al hujr

Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut”[23]

Kesembilan: Diperbolehkan menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit

Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat orang-orang disekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah, maka hal ini diharamkan.

Rambu-rambu untuk para peziarah

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan ziarah kubur ini agar ziarah kubur yang dilakukan menjadi amalan shalih, bukan menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala :

  • Hikmah disyari’atkannya ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, bukan untuk tabarruk kepada mayit meskipun dia dahulu orang sholeh. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “(Hendaknya) tujuan ziarahnya adalah untuk mengambil pelajaran, nasihat, dan mendo’akan mayit. Jika tujuannya adalah untuk tabarruk dengan kubur,  atau melakukan ritual penyembelihan di sana, dan meminta mayit untuk memenuhi kebutuhannya dan mengeluarkannya dari kesulitan, maka ini ziarah yang bid’ah lagi syirik”[24]
  • Tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah karena hal itu tidak ada dalilnya. Kapan saja ziarah itu dibutuhkan, maka berziarahlah. Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Diantara hal yang tidak ada tuntunannya juga adalah kebiasaan menabur bunga di atas kuburan. Penta’liq Matan Abi Syuja’ –kitab fikih madzhab syafi’i- berkata : “Diantara bid’ah yang diharamkan adalah menaburkan/meletakkan bunga-bunga di atas jenazah atau kubur karena hanya buang-buang harta”[25]

Selesailah pembahasan tentang ziarah kubur ini. Semoga  Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan amal ini sebagai amalan yang memberatkan timbangan kebaikan di hari perhitungan kelak  dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengannya. Aamiin. Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

 

Penulis: Yananto

Artikel www.muslim.or.id


[1] HR. At Tirmidzi (no. 2307), Ibnu Majah (no. 4258), An Nasa’I (4/4), Ahmad (2/292,293). Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah mengatakan: “hadits shahih li ghairihi”. Lihat Bahjatun Nazhirin (1/581), Daar Ibnul Jauzy

[2] Dan hal yang sangat mengherankan bagi penulis yakni adanya orang-orang yang menuduh Salafiyyun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, atau yang mereka sebut sebagai Wahhabi, yang senantiasa berpegang teguh dengan sunnah Nabi, mengharamkan ziarah kubur secara mutlak. Semoga Allah memberikan mereka petunjuk kepada sunnah.

[3] HR. Muslim no. 977. Lihat Bahjatun Nazhirin (1/583)

[4] Lihat Asy Syarhul Mumti (5/380)

[5] HR. Muslim no. 977

[6] Hadits ini hasan dengan beberapa penguatnya. Diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 1056 dan beliau berkomentar : hadits hasan shahih, juga oleh Ibnu Majah no. 1576 dan Al Baihaqi (4/78). Lihat Jaami’ Ahkaamin Nisaa (1/580).

[7] Lihat Fathul Baari (3/149), Maktabah As Salafiyyah (versi pdf)

[8] HR. Bukhari no. 1283

[9] HR. Al Hakim (1/376) dan Al Baihaqi (4/78). Adz Dzahabi berkata : “Shahih”. Al Bushiri berkata : “Sanadnya shahih dan perawinya tsiqah”. Syaikh Al Albani berkata : “Hadits ini (derajatnya) sebagaimana penilaian mereka berdua”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 230, Maktabah Al Ma’arif

[10] HR. Muslim (3/14), Ahmad (6/221), An Nasa’I (1/286), dan Abdurrazzaq (no. 6712)

[11] Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 232, Maktabah Al Ma’arif

[12] Lihat Bahjatun Nazhirin (1/583), Daar Ibnul Jauzy

[13] Al Hujr adalah ucapan yang bathil. Lihat Al Majmu’ (5/310), Maktabah Syamilah

[14] HR. Al Hakim (1/376), dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkaamul Janaa-iz hal. 229

[15] HR. Ahmad (6/252). Syaikh Al Albani berkata : “Shahih sesuai syarat Syaikhain (yakni Bukhari dan Muslim-ed)”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 239

[16] HR. Muslim (3/65). Dalam hadits ini juga terdapat dalil bolehnya menziarahi makam orang kafir dengan tujuan hanya untuk mengambil pelajaran saja, bukan untuk mendo’akannya.

[17] Lihat Subulus Salaam (1/502), Maktabah Syamilah

[18] Muttafaqun ‘alaihi dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu

[19] HR. Muslim no. 974

[20] HR. Abu Dawud (2/72), An Nasa’I (1/288), Ibnu Majah (1/474), Ahmad (5/83), dan selainnya. Al Hakim berkata : “Sanadnya shahih”. Hal ini disetujui oleh Adz Dzahabi dan juga Al Hafizh di Fathul Baari (3/160). Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 173, Maktabah Al Ma’arif

[21] HR. Muslim (3/62)

[22]Syaikh Al Albani mengatakan : “Diriwayatkan oleh Ahmad (6/92), dan hadits ini terdapat di Al Muwaththo’ (1/239-240), dan An Nasa’I dengan redaksi yang semisal tetapi disana tidak disebutkan (kalau Nabi) mengangkat tangan. Dan sanad hadits ini hasan”. Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal. 246, Maktabah Al Ma’arif

[23] Lihat Ahkaamul Janaa-iz hal.227, Maktabah Al Ma’arif

[24] Lihat Al Mulakhkhos Al Fiqhi hal. 248, Daarul Atsar

[25] Ta’liq Matan Al Ghayah wat Taqrib fi Fiqhis Syafi’I hal. 106, Daar Ibnu Hazm

Sahabat muslim, yuk berdakwah bersama kami. Untuk informasi lebih lanjut silakan klik disini. Jazakallahu khair

Doa Ruku

Ada beberapa macam bacaan ruku’ yang dibaca Rasulullah n dalam sholatnya. Ini artinya beliau terkadang membaca dengan sebuah bacaan namun terkadang menggantinya dengan yang lain. Berikut diantara bacaan ruku’ tersebut :

سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيمِ

“Maha suci rabbku yang maha agung.”[1]

Atau biasa juga dengan lafadz berikut :


سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ

Maha Suci Rabbku yang maha Agung dan maha terpuji.”[2]

Menurut mayoritas ulama kalimat dzikir diatas batas minimalnya adalah dibaca sekali dan sempurnanya dibaca tiga kali. Pendapat ini didasarkan kepada hadits riwayat Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah nbersabda : “Apabila kalian ruku’ maka bacalah dalam ruku’ kalian ‘Subhana rabbiyal ‘adziem’ tiga kali.” (HR. Tirmidzi)

 Sebagian ulama menyukai membaca tasbih sebanyak sepuluh kali, hal ini didasarkan pada perkataan dari shahabat Anas bin Malik ketika melihat Umar bin Abdul Aziz sholat, ia berkata : “Aku tidak pernah sholat di belakang seorangpun (sepeninggal Rasulullah) yang sholatnya paling mirip dengan Rasulullah n dari pada pemuda ini (Umar bin Abdul Aziz). Sa’id bin Jubair berkata : “Maka kami kira-kirakan waktu ruku’ dan sujudnya sekitar sepuluh kali bacaan tasbih.”(HR Abu Dawud)

Namun Malikiyah mengatakan banyaknya bacaan tersebut tidak meiliki batasan.[3]

Bacaan ruku’ lainnya adalah dzikir berikut ini :

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

Maha suci Engkau wahai rabb kami, segala pujian bagi-Mu. Ya Allah, ampunilah aku).” (Mutafaqqun ‘alaih)


سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلَائِكَةِ وَالرُّوحِ

“Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh.” (HR. Muslim)


فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ

“Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha Besar.”[4]

Selanjutnya, juga bisa membaca dzikir berikut ini,


اَللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِيْ وَبَصَرِيْ وَمُخِّيْ وَعَظْمِيْ وَعَصَبِيْ وَمَا اسْتَقَلَّ بِهِ قَدَمِيْ

“Ya Allah, untukMu aku ruku’. KepadaMu aku beriman, kepadaMu aku berserah diri. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku, sarafku dan apa yang berdiri di atas dua tapak kakiku, telah merunduk dengan khusyuk kepada-Mu.”[5]



سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوْتِ وَاْلمَلَكُوْتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

“Maha Suci (Allah) Yang memiliki Keperkasaan, Kerajaan, Kebesaran dan Keagungan.”[6]

  1. Dzikir Yang Dilarang Ketika Ruku’

Bentuk bacaan dzikir yang dilarang ketika dalam kondisi ruku’ adalah membaca ayat-ayat dari Al Quran. Berdasarkan hadits : “Bahwasanya Nabi nmelarang membaca Al Quran dalam ruku’ dan sujud.” (HR. Muslim)

Demikian. Wallahua’lam.

[1] Dari Huzaifah bin Al-Yaman a  “bahwa dia pernah shalat bersama nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. maka ketika ruku’ beliau membaca: “subhana rabbiyal azhim (maha suci rabbku yang maha agung),” dan ketika sujud beliau membaca: “subhana rabbiyal a’la (maha suci rabbku yang maha tinggi).” (Hadits Shahih riwayat abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan ibnu Majah)

[2] Bacaan dengan tambahan ‘wa bihamdihi’ diriwayatkan dalam hadits dengan jalur periwayatan yang banyak, sehingga  Imam Asy-Syaukani berkata bahwa riwayat-riwayat yang banyak itu saling menguatkan.” (Fiqih Sunnah I:137)

[3] Fiqh al Islami wa adillatuhu (2/57).

[4] Uqbah bin Amir berkata, manakala turun ayat, فسبح باسم ربك العظيم (Al-Waqi’ah: 74) Nabi  n bersabda, “Jadikan ia sebagai bacaan dalam ruku’ kalian.” Ketika turun ayat, سبح اسم ربك الأعلى (Al-A’la: 1) Nabi n bersabda, Jadikan ia sebagai bacaan dalam sujud kalian.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad dengan sanad hasan).

[5] HR. Muslim 1/534, begitu juga empat imam hadis, kecuali Ibnu Majah.

[6] HR. Abu Dawud 1/230, An-Nasai dan Ahmad. Dan sanadnya hasan.

Thans for reading BACAAN RUKU’ DALAM SHOLAT

Doa iftitah

Doa Iftitah adalah salah satu doa sunnah muakkad, yaitu doa yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Selama ini kita mengenal doa iftitah yang dibaca hanya 1 doa atau 2 doa saja. Taukah kita oleh Nabi صلى الله عليه وسلم diajarkan bermacam-macam doa Iftitah. Dalam doa-doa iftitah yang diajarkan Nabi صلى الله عليه وسلم mengucapkan pujian, sanjungan, dan kalimat-kalimat keagungan untuk Allah Azza wa Jalla. Beliau pernah memerintahkan dan menegaskan hal ini kepada orang yang shalatnya salah dengan sabdanya:

لَا تَتِمُ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يُكَبِّرَ وَيَـحْمَدَ اللهَ جَلَّ وَ عَزَّ وَيُثْنِيَ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأَ بِـمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْـقُرْآنِ…

Tidak sempurna shalat seseorang sebelum ia bertakbir, memuji Allah ‘azza wa jalla, menyanjung-Nya, dan membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalnya….[1]

Berikut ini doa Iftitah yang Beliau baca dalam shalat yang terkadang membaca do’a iftitah ini atau itu atau yang lain, menurut riwayat yang shahih ada 12 doa yang Rasulullah ajarkan dan bisa dipakai semua. Tidak satu golongan pun mengklaim bahwa doa Iftitah mereka lebih baik karena Rasulullah sendiri membaca salah satu doa berikut secara bergantian dalam setiap shalat:

1.  Doa Pertama

اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اَللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِاالْمَاءِ وَلثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

“Ya Allah, jauhkanlah diriku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan timur dari barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku seperti kain putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Allah, cucilah diriku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, es, dan embun.

Beliau membaca do’a ini dalam shalat fardhu’.[2]

2.  Doa Kedua

وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ، إِنَّ صَلَاتِي، وَنُسُكِي، وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي، لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. لَا شَرِيكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، سُبْحَانَكَ وَبِـحَمْدِكَ، أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي، وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي جَمِيعًا، إِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ، لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا، لَا يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ، لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ. وَالْـمَهْدِيُّ مَنْ هَدَيْتَ، أَنَا بِكَ، وَإِلَيْكَ لَا مَنْجَا وَلَا مَلْجَأَ مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ.

Aku hadapkan wajahku kepada Tuhan Pencipta seluruh langit dan bumi dengan penuh kepasrahan dan aku bukanlah termasuk orang-orangmusyrik. Shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku semata-mata untuk Allah, Tuhan alam semesta, tiada sesuatu pun yang menyekutui-Nya. Demikianlah aku diperintah dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi musl’im.[3] Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tiada tuhan selain Engkau semata-mata. Engkau Mahasuci dan Maha Terpuji, Engkaulah Tuhanku dan aku hamba-Mu. Aku telah menganiaya diriku dan aku mengakui dosa-dosaku. Oleh karena itu, ampunilah semua dosaku. Sesungguhnya hanya Engkaulah yang berhak mengampuni semua dosa. Berilah aku petunjuk kepada akhlaq yang paling balk, karena hanya Engkaulah yang dapat memberi petunjuk kepada akhlaq yang terbaik dan jauhkanlah diriku dari akhlaq yang buruk, karena hanya Engkaulah yang dapat menjauhkan diriku dari akhlaq buruk. Aku jawab seruan-Mu dan aku mohon pertolongan-Mu. Segala kebaikan di tangan-Mu, sedang segala keburukan tidak datang dari-Mu.[4] Orang yang terpimpin adalah orang yang Engkau beripetunjuk. Aku berada dalam kekuasaan-Mu dan akan kembali kepada-Mu, tiada tempat memohon keselamatan dan perlindungan dari siksa-Mu kecuali hanya Engkau semata. Engkau Mahamulia dan Mahatinggi, aku mohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.”

Bacaan di atas diucapkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam shalat wajib atau shalat sunnah.[5]

3. Doa Ketiga

Sama dengan do’a di atas, tetapi tanpa kalimat:

أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ

Engkau Tuhanku dan aku hamba-Mu…,

dan beliau menambahnya dengan kalimat:

اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَبِـحَمْدِكَ

Ya Allah, Engkaulah Penguasa, tiada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau dan Maha Terpuji.“[6]

4. Doa Keempat

Sama dengan do’a di atas sampai dengan kalimat:

وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

“… dan aku termasuk orang yang pertama-tama menjadi muslim,”

dan beliau menambahnya dengan kalimat:

اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلَاقِ لَا يَقِي سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ

Ya Allah, tunjukkanlah aku akhlaq dan amal yang terbaik. Tiada yang dapat memberi petunjuk kepada yang lebih baik tentang hal itu kecuali Engkau semata-mata. jauhkanlah diriku dari akhlaq dan amal yang buruk. Tiada yang dapat menjauhkan dari keburukan hal tersebut kecuali Engkau semata-mata.”[7]

5.  Doa Kelima

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَـهَ غَيْرُكَ

Mahasuci Engkau, ya Allah. Maha Terpuji Engkau dan Mahanuilia nama-Mu serta Mahatinggi kehormatan-Mu, tiada tuhan selain Engkau semata-mata.”[8]

Beliau bersabda: “Kalimat yang paling Allah cintai untuk diucapkan oleh hamba-Nya ialah: ‘Mahasuci Engkau, ya Allah….'”[9]

6.  Doa Keenam
Seperti do’a di atas tetapi dengan tambahan kalimat:

لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ  اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا
dibaca 3 kali

Tidak ada tuhan kecuali Allah (diucapkan 3 kali). Allah Mahaagung lagi Mahabesar(diucapkan 3 kali).”

Do’a di atas dibaca dalam shalat lail.[10]

7.  Doa Ketujuh

اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً

“Allah Mahaagung lagi Mahabesar, segala puji yang begitu banyak hanya milik Allah, Mahasuci Allah pada pagi hari dan sore hari.”

Pernah do’a iftitah ini dibaca oleh seorang sahabat, kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda (bahwa Allah menyambut dengan firman-Nya): “Aku menyenanginya, Aku bukakan semua pintu langit karena do’a ini.“[11]

8.  Doa Kedelapan

وَالْـحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Segala puji milik Allah dengan pujian yang sangat banyak, baik, dan penuh berkah.

Do’a ini dibaca seorang sahabat lain lagi, laiu Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda: “Aku melihat 12 orang malaikat berebut mencatat do’a ini untuk bisa menyampaikannya kepada Allah.“[12]

9.  Doa Kesembilan

اَللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، (وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ) وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ الْحَقُّ، وَقَوْلُكَ الْحَقُّ، وَلِقَاؤُكَ الْحَقُّ، وَالْجَنَّهُ حَقُّ، وَالنَّارُ حَقُّ، وَالسَّاعَةُ حَقُّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقُّ، وَمُحَمَّدٌ حَقُّ. اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، (أَنْتَ رَبُّنَا وَإِلَيْكَ الْـمَصِيْرُ، فَاغْفِرْ لِيْ مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ)، (وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّي). أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ،(أَنْتَ إِلَهِيْ)، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، (وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ).

Ya Allah, segala puji milik-Mu. Engkaulah cahaya seluruh langit dan bumi serta segenap makhluk yang ada padanya. Segala puji milik-Mu. Engkaulah Pemelihara seluruh langit dan bumi serta segenap makhluk yang ada padanya. [Segala puji milik-Mu. Engkaulah Penguasa segenap langit dan bumi serta segenap makhluk yang ada padanya]. Segala puji milik-Mu, Engkaulah Yang Mahabenar, janji-Mu mahabenar, firman-Mu mahabenar, pertemuan dengan-Mu mahabenar, adanya surga mahabenar, adanya neraka mahabenar, adanya kiamat mahabenar, adanya para nabi mahabenar, dan adanya Muhammad صلى الله عليه وسلم (sebagai rasul-Mu) mahabenar. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri dan bertawakal. Hanya kepada-Mu aku beriman. Hanya kepada-Mu aku bertaubat Hanya kepada-Mu aku mengadu, dan hanya kepada-Mu aku memohon keputusan. [Engkaulah Tuhan kami dan Engkaulah tempat kembali. Oleh karena itu, ampunilah dosa-dosaku yang lalu dan yang akan datang, yang aku lakukan secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan]. [Hanya Engkaulah yang lebih tahu daripada aku], Engkaulah yang terdahulu dan Engkaulah yang terakhir. [Engkaulah Tuhanku], tiada tuhan kecuali Engkau [dan tiada daya atau kekuatan kecuali hanya dengan pertolongan-Mu].”[13]

Do’a ini dibaca oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dalam shalat lail, [14] sebagaimana halnya doa berikut ini:

10. Doa Kesepuluh

اللَّهُمَّ رَبَّ جَبْرَائِيلَ، وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Ya Allah, Tuhan Malaikat jibril, Mikail, dan Israfil, Tuhan Pencipta segenap langit dan bumi, Tuhan Yang Maha Mengetahui semua yang ghaib dan yang nyata. Engkaulah yang akan menghakimi para hamba-Mu mengenai apa saja yang mereka perselisihkan. Dengan izin-Mu berilah aku petunjuk memilih kebenaran dan apa’yang mereka perselisihkan. Engkaulah yang member! petunjuk siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.“[15]

11. Doa Kesebelas

Terkadang beliau صلى الله عليه وسلم membaca:

اَللهُ أَكْبَرُ   اَلْـحَمْدُ لِلَّهِ   سُبْحِانَ اَللهُ   لَا اِلَهَ إِلَّا اَللهُ   أَسْتَغْفِرُ اَللهُ

Allah Mahabesar (10 kali), segala puji milik Allah (10kali), Mahasuci Allah (10 kali), tidak ada tuhan kecuali Allah (10 kali), aku mohon ampun kepada Allah (10 kali).”

Dan dilanjutkan:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَاهْدِنِي وَارْزُقْنِي (وَعَافِنِيْ)   يَقُولُ : اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيقِ يَوْمَ الْحِسَابِ  

Ya Allah, ampunilah aku, berilah aku petunjuk, berilah aku rizki, dan [berilah aku keselamatan]” (10 kali) dan dilanjutkan: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari penderitaan pada hari menghadapi perhitungan amal di akhirat” (10 kali).[16]

12. Doa Keduabelas

اللَّهُ أَكْبَرُ   ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

Allah Mahabesar (3 kali), Tuhan Pemilik seluruh kekuasaan, Pemilik segala keperkasaan, Pemilik semua kebesaran, dan Pemilik semua keagungan.“[17]

 Sumber Referensi:
[1]     HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim, disetujui Dzahabi.

[2]     HR. Bukhari, Muslim, dan lbnu Abi Syaibah (12/110/2), baca Al-lrwa’, Hadits no. 8.

[3]     Dalam beberapa riwayat lain digunakan kata-kata: “Dan aku termasuk orang-orang muslim.” Tampaknya kata-kata ini perubahan dari beberapa orang rawi sendiri sebagaimana dibuktikan oleh beberapa keterangan. Oleh karena itu, hendaknya orang yang shalat mengucapkan kata-kata “wa ana awwalul muslimiin”, bukan “wa ana minal muslimiin.” Ada sementara yang menyangka bahwa pengertian “wa ana minal muslimiin” ialah “saya sebagai orang yang pertama berserah diri kepada Allah pada saat banyak orang mengingkari Islam”, padahal bukan begitu yang dimaksud, tetapi ialah: “Aku segera melaksanakan perintah-perintah Allah sesuai dengan yang telah diperintahkan.” Lafadz tersebut sejalan dengan firman Allah: “Katakanlah, jika Tuhan Yang Maha-rahman punya anak, Akulah yang pertama menjadi penyembahnya.” Dan seperti kata Musa عليه السلام: “Dan Aku merupakan orang yang pertama menjadi mukmin.”

[4]     Hal yang buruk tidak boleh dinisbatkan (dihubungkan) dengan Allah, sebab tidak ada perbuatan Allah yang buruk, tetapi perbuatan Allah semuanya baik. Perbuatan Allah itu pasti adil, utama, dan penuh kebajikan. Jadi, tidak ada yang buruk. Adanya penisbatan kata buruk kepada Allah oleh Ibnul Qayyim رحمه الله dijelaskan sebagai berikut:

“Allah سبحانه و تعالى pencipta kebaikan dan keburukan. Keburukan ini melekat pada diri sebagian makhluk-Nya, bukan pada penciptaan dan perbuatan-Nya. Oleh karena itulah, Allah jauh dari sifat zhalim, yaitu bertindak meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, tetapi Allah selalu meletakkan sesuatu pada tempatnya yang tepat. Jadi, semuanya baik, sedangkan yang buruk berarti meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Bila sesuatu sudah ditempatkan pada tempatnya, hal itu tidak disebut buruk. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa buruk itu tidak dapat dinisbatkan kepada Allah. Bila Anda bertanya: “Mengapa Allah menciptakan makhluk-Nya buruk?” Jawabnya: “Ciptaan-Nya itu milik Allah dan perbuatan Allah menciptakan itu baik, tidak buruk, karena perbuatan menciptakan dan bertindak dilakukan oleh Allah sehingga sifat buruk mustahil melekat pada-Nya. Adapun apabila makhluk-Nya memiliki sifat buruk, sama sekali tidak bisa dinisbatkan kepada-Nya, sebab perbuatan dan ciptaan Allah semuanya baik. Uraian ini dikemukakan oleh Ibnul Qayyim dalam Kitab Syifa’ul ‘Alii fii Masaail Al-Qadhai wa Al-Qadari Wa At-Ta’til, hlm. 178 – 206.

[5]     HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ahmad, Syafi’i, dan Thabarani. Anggapan bahwa Hadits ini hanya berkenaan dengan shalat sunnah adalah keliru.

[6]     HR. Nasa’i dengan sanad shahih.

[7]     HR. Nasa’i dan Daruquthni dengan sanad shahih.

[8]     HR. Abu Dawud dan Hakim, disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi. Uqaili berkata: “Hadits ini diriwayatkan dengan beberapa jalan dengan sanad shahih.” Baca Al-lrwa’ Hadits no. 341.

[9]     HR. Ibnu Mandah dalam At-Tauhid (2/123) dengan sanad shahih. Nasa’i dalam Kitab Al-Yaum wal Lailah dengan sanad mauquf dan marfu’. Baca Jami’ul Masanid, Ibnu Katsir, Juz. 3/2 muka 235/2. Lihat An-Nasa’i Hadits no. 849 dan 850, saya sebutkan dalam Kitab Ash-Shahihah Hadits no. 2939.

[10]    HR. Abu Dawud dan Thahawi dengan sanad hasan.

[11]    HR. Muslim, Abu ‘Awanah, dan disahkan oleh Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Kitab Akhbar Ash-Bahan (1/210), dari Jabir bin Muth’im رضي الله عنه, ia mendengar Nabi صلى الله عليه وسلم mengucapkan do’a tersebut dalam shalat sunnah.

[12]    HR. Muslim dan Abu ‘Awanah.

[13]    HR. Bukhari, Muslim, Abu ‘Awanah, Abu Dawud, Ibnu Nashr, dan Darimi.

[14]    Hal ini tidak berarti dalam shalat-shalat wajib tidak boleh dibaca, tetapi maksudnya agar imam tidak membaca do’a ini, sehingga makmum menunggu lama.

[15]    HR. Muslim dan Abu ‘Awanah.

[16]    HR. Ahmad, Ibnu Syaibah (12/119/2), Abu Dawud, dan Thabarani dalam Kitab Al-Ausath (62/2) dengan sanad shahih dan yang lainnya hasan.

[17]    HR. Thayalisi dan Abu Dawud dengan sanad shahih.

Tharah 1

Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan cara khusus. Kewajiban berwudhu ditetapkan dengan firman Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Ma’idah: 6)

Sedangkan dari hadits kita dapati sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antaramu jika berhadats sehingga berwudhu.” (As Syaikhani)

Abu Hurairah r.a. telah merilis tentang keutamaan wudhu. Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan kepadamu tentang amal yang menghapus kesalahan dan meninggikan kedudukan?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, memperbanyak langkah ke masjid, menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.” (Malik, Muslim, At Tirmidzi, dan An-Nasa’i)

Ribath adalah keterikatan diri di jalan Allah. Artinya, membiasakan wudhu dengan menyempurnakannya dan beribadah menyamai jihad fi sabilillah.

Furudhul Wudhu

  1. Membasuh muka, para ulama membatasinya mulai dari batas tumbuh rambut sampai bawah dagu, dari telinga ke telinga
  2. Membasuh kedua tangan sampai ke siku; yaitu pergelangan lengan
  3. Mengusap kepala keseluruhannya menurut Imam Malik dan Ahmad, sebagiannya menurut Imam Abu Hanifah dan Asy Syafi’iy
  4. Membasuh kedua kaki sampai ke mata kaki, sesuai dengan sabda Nabi kepada orang yang hanya mengusap kakinya: “Celaka, bagi kaki yang tidak dibasuh, ia diancam neraka”. Muttafaq alaih

Itulah empat rukun yang tercantum secara tekstual dalam ayat wudhu di Al-Ma’idah ayat 6. Tapi, masih ada 2 tambah, yaitu:

  1. Niat. Ini menurut Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad sesuai dengan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya semua amal itu tergantung niat.” (Muttafaq alaih). Urgensi niat adalah untuk membedakan antara ibadah dari kebiasaan. Namun, tidak disyaratkan melafalkan niat karena niat itu berada di dalam hati.
  2. Tertib. Maksudnya, berurutan. Dimulai dari membasuh muka, tangan, mengusap kepala, lalu memabasuh kaki. Menurut Abu Hanifah dan Malikiyah, melakukan wudhu dengan tertib hukumnya sunnah.

Sunnah Wudhu

  1. Membaca Basmalah. Ini adalah sunnah yang harus diucapkan saat memulai semua pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhulah dengan menyebut nama Allah.” (Al-Baihaqi)
  2. Bersiwak. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw., “Jika tidak akan memberatkan umatku, akan aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (Malik, Asy Syaf’iy, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim). Disunnahkan pula bersiwak bagi orang yang berpuasa, seperti dalam hadits Amir bin Rabi’ah r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. tidak terhitung jumlahnya bersiwak dalam keadaan berpuasa.” (Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi). Menurut Imam Syafi’i, bersiwak setelah bergeser matahari bagi orang yang berpuasa, hukumnya makruh.
  3. Membasuh dua telapak tangan tiga kali basuhan di awal wudhu, sesuai hadits Aus bin Aus Ats-Tsaqafiy r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. berwudhu dan membasuh kedua tangannya tiga kali.” (Ahmad dan An Nasa’i)
  4. Berkumur, menghisap [1] air ke hidung dan menyemburkannya keluar. Terdapat banyak hadits tentang hal ini. Sunnahnya dilakukan secara berurutan, tiga kali, menggunakan air baru, menghisap air ke hidung dengan tangan kanan dan menyemburkannya dengan tangan kiri, menekan dalam menghisap kecuali dalam keadaan puasa.
  5. Menyisir jenggot dengan jari-jari tangan. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Utsman dan Ibnu Abbas r.a.
  6. Mengulang tiga kali basuhan. Banyak sekali hadits yang menerangkannya
  7. Memulai dari sisi kanan sebelum yang kiri, seperti dalam hadits Aisyah r.a., “Rasulullah saw. sangat menyukai memulai dari yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan semua aktivitasnya.” (Muttafaq alaih)
  8. Menggosok, yaitu menggerakkan tangan ke anggota badan ketika mengairi atau sesudahnya. Sedang bersambung artinya terus menerus pembasuhan anggota badan itu tanpa terputus oleh aktivitas lain di luar wudhu. Hal ini diterangkan dalam banyak hadits. Menggosok menurut madzhab Maliki termasuk dalam rukun wudhu, sedang terus menerus termasuk dalam rukun wudhu menurut madzhab Maliki dan Hanbali.
  9. Mengusap dua telinga, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan At-Thahawiy dari Ibnu Abbas dan Al-Miqdam bin Ma’ di Kariba
  10. Membasuh bagian depan kepala, dan memperpanjang basuhan di atas siku dan mata kaki. Seperti dalam hadits Nabi saw., “Sesungguhnya umatku akan datang di hari kiamat dalam keadaan putih berseri dari basuhan wudhu.”
  11. Berdoa setelah wudhu, seperti dalam hadits Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun di antara kalian yang berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian berdo’a: أَشهَدُ أَنْ لَا إله إلّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ له، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوله Aku Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan itu, dan dipersilahkan masuk dari mana saja.” (Muslim)
  12. Sedangkan doa ketika berwudhu, tidak pernah ada riwayat yang menerangkan sedikitpun.
  13. Shalat sunnah wudhu dua rakaat, seperti dalam hadits Uqbah bin Amir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dengan menghadap wajah dan hatinya, maka wajib baginya surga.” (Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Cara Berwudhu

Dari Humran mantan budak Utsman bin Affan r.a. bahwa Utsman minta diambilkan air wudhu, kemudian ia basuh kedua tangannya tiga kali, kemudian berkumur, menghisap air ke hidung, menyemburkannya, lalu membasuh mukanya tiga kali, membasuh tangan kanannya samapai ke siku tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sampai ke mata kaki tiga kali, dan yang kiri seperti itu. Kemudian Utsman berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. berwudhu seperti wudhuku ini dan Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat, maka akan diampuni dosanya.’” (Muttafaq alaih)

Yang Membatalkan Wudhu

  1. Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madzi, atau wadi), kecuali mani yang mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah swt. “… atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan….” (Al-Ma’idah: 6) dan sabda Nabi saw., “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu ketika berhadats sehingga ia berwudhu.” (Muttafaq alaih). Hadats adalah angin dubur baik bersuara atau tidak. Sedangkan madzi adalah karena sabda Nabi saw., “Wajibnya wudhu.” (Muttafaq alaih). Sedangkan wadiy adalah karena ungkapan Ibnu Abbas, “Basuhlah kemaluanmu, dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat.” (Al-Baihaqi dalam As-Sunan).
  2. Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur, kecuali karena junub.” (Ahmad, An Nasa’i, At-Tirmidzi dan menshahihkannya). Kata tidur disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam hadits Anas r.a. yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, Muslim, dan Abu Daud, “Adalah para sahabat Rasulullah saw. pada masa Nabi menunggu shalat Isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
  3. Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk atau obat. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya kesadaran.

Tiga hal itu disepakati sebagai pembatal wudhu, tapi para ulama berbeda pendapat dalam beberapa hal berikut ini:

1. Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’i dan Ahmad, seperti dalam hadits Busrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (Al-Khamsah dan disahihkan oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Hibban). Al-Bukhari berkata, “Inilah yang paling shahih dalam bab ini.” Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.

2. Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah, maka berpaling dan berwudhulah.” (Ibnu Majjah dan didhaifkan oleh Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dan menurut Asy-Syafi’i dan Malik bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kuat menurutnya, juga karena hadits Anas r.a., “Bahwa Rasulullah saw. dibekam dan shalat tanpa wudhu lagi.” Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tapi banyak didukung hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan berkata, “Kaum muslimin melaksanakan shalat dengan luka-luka mereka.” (Al-Bukhari)

3. Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’, “Bahwa Rasulullah saw. muntah lalu berwudhu.” Ia berkata, kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di Masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia menjawab, “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.” (At-Tirmidzi dan mensahihkannya). Demikiamlah Madzhab Hanafi. Dan menurut Syafi’i dan Malik, muntah tidak membatalkan wudhu karena tidak ada hadits yang memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai istihbab/sunnah.

4. Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Mazhab Syafi’i dengan dalil firman Allah swt. Al-Ma’idah ayat 6. Tidak membatalkan menurut Jumhurul Ulama karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits Aisyah r.a., “Bahwa Rasulullah saw. mencium isterinya, kemudian shalat tanpa berwudhu.” (Ahmad dan Imam empat). Juga ucapan Aisyah r.a., “Saya tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku ada di arah kiblatnya, jika ia hendak sujud ia memindahkan kakiku.” (Muttafaq alaih). Tidak ada bedanya dalam pembatalan ini, apakah wanita itu isteri atau bukan. Sedang jika menyentuh mahram, tidak membatalkan wudhu.

5. Tertawa terbahak ketika shalat yang ada rukuk dan sujudnya, membatalkan wudhu menurut Madzhab Hanafi karena ada hadits, “… kecuali karena tertawa terbahak-bahak, maka ulangilah wudhu dan shalat semuanya.” Sedang menurut jumhurul ulama, tertawa terbahak-bahak membatalkan shalat, tetapi tidak membatalkan wudhu karena hadits tersebut tidak kuat sebagai hadits yang membatalkan wudhu. Juga karena hadits Nabi saw., “Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu.” Demikian Imam Bukhari mencatatnya sebagai hadits mauquf dari Jabir. Pembatalan wudhu karena tertawa membutuhkan dalil, dan tidak ditemukan dalil yang kuat.

6. Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum? Tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi saw. menyatakan, “Jika salah seorang diantaramu merasakan sesuatu di perutnya, lalu dia ragu apakah sudah keluar sesuatu atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga ia mendengar suara atau mendapati baunya.” (Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi). Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum, ia wajib berwudhu sebelum shalat.

Kapan Wudhu Menjadi Wajib dan Kapan Sunnah

Wudhu menjadi wajib jika:

  1. Untuk shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Meskipun shalat jenazah, karena firman Allah swt., “…jika kamu mau shalat, maka hendaklah kamu basuh.” (Al-Maidah: 6)
  2. Thawaf di Ka’bah, karena hadits Nabi saw., “Thawaf adalah shalat.” (At-Tirmidziy dan Al-Hakim)
  3. Menyentuh mushaf, karena hadits Nabi saw., “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (An-Nasa’i dan Ad-Daruquthni). Demikianlah pendapat jumhurul ulama. Ibnu Abbas, Hammad, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa menyentuh mushaf boleh dilakukan oleh orang yang belum berwudhu, jika telah bersih dari hadats besar. Sedangkan membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, semua sepakat memperbolehkan.

Wudhu menjadi sunnah:

  1. Ketika dzikrullah. Pernah ada seseorang yang memberi salam kepada Nabi saw. yang sedang berwudhu, dan Nabi tidak menjawab salam itu sehingga menyelesaikan wudhunya dan bersabda, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku menjawab salammu, kecuali karena aku tidak ingin menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (Al-Khamsah, kecuali At Tirmidzi).
  2. Ketika hendak tidur, seperti hadits Nabi saw., “Jika kamu mau tidur hendaklah berwudhu sebagaimana wudhu shalat.” (Ahmad, Al-Bukhari dan At Tirmidzi)
  3. Bagi orang junub yang hendak makan, minum, mengulangi hubungan seksual, atau tidur. Demikianlah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh Bukhari, Muslim dan muhadditsin lainnya.
  4. Disunnahkan pula ketika memulai mandi, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah r.a.
  5. Disunnahkan pula memperbaharui wudhu setiap shalat, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan kebanyakan ulama hadits. []

Catatan Kaki:

[1] Keduanya wajib menurut Imam Ahmad, karena keduanya termasuk dari wajah.

Foto: abdel-karim.es

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/07/26/842/cara-berwudhu/#ixzz5LPyfDlXc
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Tharah

Wudhu adalah bersuci dengan air yang dilakukan dengan cara khusus. Kewajiban berwudhu ditetapkan dengan firman Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. Dan jika kamu junub, maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Ma’idah: 6)

Sedangkan dari hadits kita dapati sabda Nabi saw. yang berbunyi, “Allah tidak akan menerima shalat salah seorang di antaramu jika berhadats sehingga berwudhu.” (As Syaikhani)

Abu Hurairah r.a. telah merilis tentang keutamaan wudhu. Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah aku tunjukkan kepadamu tentang amal yang menghapus kesalahan dan meninggikan kedudukan?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Nabi saw. bersabda, “Menyempurnakan wudhu dalam kondisi yang tidak menyenangkan, memperbanyak langkah ke masjid, menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath, itulah ribath, itulah ribath.” (Malik, Muslim, At Tirmidzi, dan An-Nasa’i)

Ribath adalah keterikatan diri di jalan Allah. Artinya, membiasakan wudhu dengan menyempurnakannya dan beribadah menyamai jihad fi sabilillah.

Furudhul Wudhu

  1. Membasuh muka, para ulama membatasinya mulai dari batas tumbuh rambut sampai bawah dagu, dari telinga ke telinga
  2. Membasuh kedua tangan sampai ke siku; yaitu pergelangan lengan
  3. Mengusap kepala keseluruhannya menurut Imam Malik dan Ahmad, sebagiannya menurut Imam Abu Hanifah dan Asy Syafi’iy
  4. Membasuh kedua kaki sampai ke mata kaki, sesuai dengan sabda Nabi kepada orang yang hanya mengusap kakinya: “Celaka, bagi kaki yang tidak dibasuh, ia diancam neraka”. Muttafaq alaih

Itulah empat rukun yang tercantum secara tekstual dalam ayat wudhu di Al-Ma’idah ayat 6. Tapi, masih ada 2 tambah, yaitu:

  1. Niat. Ini menurut Imam Syafi’i, Malik, dan Ahmad sesuai dengan sabda Nabi saw., “Sesungguhnya semua amal itu tergantung niat.” (Muttafaq alaih). Urgensi niat adalah untuk membedakan antara ibadah dari kebiasaan. Namun, tidak disyaratkan melafalkan niat karena niat itu berada di dalam hati.
  2. Tertib. Maksudnya, berurutan. Dimulai dari membasuh muka, tangan, mengusap kepala, lalu memabasuh kaki. Menurut Abu Hanifah dan Malikiyah, melakukan wudhu dengan tertib hukumnya sunnah.

Sunnah Wudhu

  1. Membaca Basmalah. Ini adalah sunnah yang harus diucapkan saat memulai semua pekerjaan. Rasulullah saw. bersabda, “Berwudhulah dengan menyebut nama Allah.” (Al-Baihaqi)
  2. Bersiwak. Ini sesuai dengan sabda Nabi saw., “Jika tidak akan memberatkan umatku, akan aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (Malik, Asy Syaf’iy, Al-Baihaqi, dan Al-Hakim). Disunnahkan pula bersiwak bagi orang yang berpuasa, seperti dalam hadits Amir bin Rabi’ah r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. tidak terhitung jumlahnya bersiwak dalam keadaan berpuasa.” (Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi). Menurut Imam Syafi’i, bersiwak setelah bergeser matahari bagi orang yang berpuasa, hukumnya makruh.
  3. Membasuh dua telapak tangan tiga kali basuhan di awal wudhu, sesuai hadits Aus bin Aus Ats-Tsaqafiy r.a. berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. berwudhu dan membasuh kedua tangannya tiga kali.” (Ahmad dan An Nasa’i)
  4. Berkumur, menghisap [1] air ke hidung dan menyemburkannya keluar. Terdapat banyak hadits tentang hal ini. Sunnahnya dilakukan secara berurutan, tiga kali, menggunakan air baru, menghisap air ke hidung dengan tangan kanan dan menyemburkannya dengan tangan kiri, menekan dalam menghisap kecuali dalam keadaan puasa.
  5. Menyisir jenggot dengan jari-jari tangan. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Utsman dan Ibnu Abbas r.a.
  6. Mengulang tiga kali basuhan. Banyak sekali hadits yang menerangkannya
  7. Memulai dari sisi kanan sebelum yang kiri, seperti dalam hadits Aisyah r.a., “Rasulullah saw. sangat menyukai memulai dari yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci, dan semua aktivitasnya.” (Muttafaq alaih)
  8. Menggosok, yaitu menggerakkan tangan ke anggota badan ketika mengairi atau sesudahnya. Sedang bersambung artinya terus menerus pembasuhan anggota badan itu tanpa terputus oleh aktivitas lain di luar wudhu. Hal ini diterangkan dalam banyak hadits. Menggosok menurut madzhab Maliki termasuk dalam rukun wudhu, sedang terus menerus termasuk dalam rukun wudhu menurut madzhab Maliki dan Hanbali.
  9. Mengusap dua telinga, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad dan At-Thahawiy dari Ibnu Abbas dan Al-Miqdam bin Ma’ di Kariba
  10. Membasuh bagian depan kepala, dan memperpanjang basuhan di atas siku dan mata kaki. Seperti dalam hadits Nabi saw., “Sesungguhnya umatku akan datang di hari kiamat dalam keadaan putih berseri dari basuhan wudhu.”
  11. Berdoa setelah wudhu, seperti dalam hadits Ibnu Umar r.a., Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun di antara kalian yang berwudhu dan menyempurnakannya, kemudian berdo’a: أَشهَدُ أَنْ لَا إله إلّا اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ له، وأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوله Aku Bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Pasti akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang delapan itu, dan dipersilahkan masuk dari mana saja.” (Muslim)
  12. Sedangkan doa ketika berwudhu, tidak pernah ada riwayat yang menerangkan sedikitpun.
  13. Shalat sunnah wudhu dua rakaat, seperti dalam hadits Uqbah bin Amir r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada seorangpun yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian shalat dua rakaat dengan menghadap wajah dan hatinya, maka wajib baginya surga.” (Muslim, Abu Daud, dan Ibnu Majah)

Cara Berwudhu

Dari Humran mantan budak Utsman bin Affan r.a. bahwa Utsman minta diambilkan air wudhu, kemudian ia basuh kedua tangannya tiga kali, kemudian berkumur, menghisap air ke hidung, menyemburkannya, lalu membasuh mukanya tiga kali, membasuh tangan kanannya samapai ke siku tiga kali, kemudian yang kiri seperti itu, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kaki kanannya sampai ke mata kaki tiga kali, dan yang kiri seperti itu. Kemudian Utsman berkata, “Saya melihat Rasulullah saw. berwudhu seperti wudhuku ini dan Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhuku ini kemudian shalat dua rakaat, maka akan diampuni dosanya.’” (Muttafaq alaih)

Yang Membatalkan Wudhu

  1. Segala sesuatu yang keluar dari dua jalan pembuangan (kencing, tinja, angin, madzi, atau wadi), kecuali mani yang mengharuskannya mandi. Dalilnya adalah firman Allah swt. “… atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan….” (Al-Ma’idah: 6) dan sabda Nabi saw., “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antaramu ketika berhadats sehingga ia berwudhu.” (Muttafaq alaih). Hadats adalah angin dubur baik bersuara atau tidak. Sedangkan madzi adalah karena sabda Nabi saw., “Wajibnya wudhu.” (Muttafaq alaih). Sedangkan wadiy adalah karena ungkapan Ibnu Abbas, “Basuhlah kemaluanmu, dan berwudhulah sebagaimana wudhu untuk shalat.” (Al-Baihaqi dalam As-Sunan).
  2. Tidur lelap yang tidak menyisakan daya ingat, seperti dalam hadits Shafwan bin ‘Assal r.a. berkata, “Rasulullah saw. pernah menyuruh kami jika dalam perjalanan untuk tidak melepas sepatu kami selama tiga hari tiga malam, sebab buang air kecil, air besar maupun tidur, kecuali karena junub.” (Ahmad, An Nasa’i, At-Tirmidzi dan menshahihkannya). Kata tidur disebutkan bersama dengan buang air kecil dan air besar yang telah diketahui sebagai pembatal wudhu. Sedang tidur dengan duduk tidak membatalkan wudhu jika tidak bergeser tempat duduknya. Hal ini tercantum dalam hadits Anas r.a. yang diriwayatkan oleh Asy-Syafi’i, Muslim, dan Abu Daud, “Adalah para sahabat Rasulullah saw. pada masa Nabi menunggu shalat Isya’ sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka shalat tanpa berwudhu.”
  3. Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk atau obat. Karena hal ini menyerupai tidur dari sisi hilangnya kesadaran.

Tiga hal itu disepakati sebagai pembatal wudhu, tapi para ulama berbeda pendapat dalam beberapa hal berikut ini:

1. Menyentuh kemaluan tanpa sekat, membatalkan wudhu menurut Syafi’i dan Ahmad, seperti dalam hadits Busrah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (Al-Khamsah dan disahihkan oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Hibban). Al-Bukhari berkata, “Inilah yang paling shahih dalam bab ini.” Telah diriwayatkan pula hadits yang mendukungnya dari tujuh belas orang sahabat.

2. Darah yang mengucur, membatalkan wudhu menurut Abu Hanifah, seperti dalam hadits Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang muntah atau mengeluarkan darah, maka berpaling dan berwudhulah.” (Ibnu Majjah dan didhaifkan oleh Ahmad, dan Al-Baihaqi). Dan menurut Asy-Syafi’i dan Malik bahwa keluarnya darah tidak membatalkan wudhu. Karena hadits yang menyebutkannya tidak kuat menurutnya, juga karena hadits Anas r.a., “Bahwa Rasulullah saw. dibekam dan shalat tanpa wudhu lagi.” Hadits ini meskipun tidak sampai pada tingkat shahih, tapi banyak didukung hadits lain yang cukup banyak. Al-Hasan berkata, “Kaum muslimin melaksanakan shalat dengan luka-luka mereka.” (Al-Bukhari)

3. Muntah yang banyak dan menjijikkan, seperti dalam hadits Ma’dan bin Abi Thalahah dari Abu Darda’, “Bahwa Rasulullah saw. muntah lalu berwudhu.” Ia berkata, kemudian aku berjumpa dengan Tsauban di Masjid Damaskus, aku tanyakan kepadanya tentang ini. Ia menjawab, “Betul, saya yang menuangkan air wudhunya.” (At-Tirmidzi dan mensahihkannya). Demikiamlah Madzhab Hanafi. Dan menurut Syafi’i dan Malik, muntah tidak membatalkan wudhu karena tidak ada hadits yang memerintahkannya. Hadits Ma’dan di atas dimaknai istihbab/sunnah.

4. Menyentuh lawan jenis atau bersalaman, membatalkan wudhu menurut Mazhab Syafi’i dengan dalil firman Allah swt. Al-Ma’idah ayat 6. Tidak membatalkan menurut Jumhurul Ulama karena banyaknya hadits yang menyatakan tidak membatalkannya. Diantaranya hadits Aisyah r.a., “Bahwa Rasulullah saw. mencium isterinya, kemudian shalat tanpa berwudhu.” (Ahmad dan Imam empat). Juga ucapan Aisyah r.a., “Saya tidur di hadapan Rasulullah dan kakiku ada di arah kiblatnya, jika ia hendak sujud ia memindahkan kakiku.” (Muttafaq alaih). Tidak ada bedanya dalam pembatalan ini, apakah wanita itu isteri atau bukan. Sedang jika menyentuh mahram, tidak membatalkan wudhu.

5. Tertawa terbahak ketika shalat yang ada rukuk dan sujudnya, membatalkan wudhu menurut Madzhab Hanafi karena ada hadits, “… kecuali karena tertawa terbahak-bahak, maka ulangilah wudhu dan shalat semuanya.” Sedang menurut jumhurul ulama, tertawa terbahak-bahak membatalkan shalat, tetapi tidak membatalkan wudhu karena hadits tersebut tidak kuat sebagai hadits yang membatalkan wudhu. Juga karena hadits Nabi saw., “Tertawa itu membatalkan shalat, dan tidak membatalkan wudhu.” Demikian Imam Bukhari mencatatnya sebagai hadits mauquf dari Jabir. Pembatalan wudhu karena tertawa membutuhkan dalil, dan tidak ditemukan dalil yang kuat.

6. Jika orang yang berwudhu ragu apakah sudah batal atau belum? Tidak membatalkan wudhu sehingga ia yakin bahwa telah terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu. Karena hadits Nabi saw. menyatakan, “Jika salah seorang diantaramu merasakan sesuatu di perutnya, lalu dia ragu apakah sudah keluar sesuatu atau belum, maka janganlah keluar masjid sehingga ia mendengar suara atau mendapati baunya.” (Muslim, Abu Daud dan At-Tirmidzi). Sedang jika ragu apakah sudah wudhu atau belum, ia wajib berwudhu sebelum shalat.

Kapan Wudhu Menjadi Wajib dan Kapan Sunnah

Wudhu menjadi wajib jika:

  1. Untuk shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah. Meskipun shalat jenazah, karena firman Allah swt., “…jika kamu mau shalat, maka hendaklah kamu basuh.” (Al-Maidah: 6)
  2. Thawaf di Ka’bah, karena hadits Nabi saw., “Thawaf adalah shalat.” (At-Tirmidziy dan Al-Hakim)
  3. Menyentuh mushaf, karena hadits Nabi saw., “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.” (An-Nasa’i dan Ad-Daruquthni). Demikianlah pendapat jumhurul ulama. Ibnu Abbas, Hammad, dan Zhahiriyah berpendapat bahwa menyentuh mushaf boleh dilakukan oleh orang yang belum berwudhu, jika telah bersih dari hadats besar. Sedangkan membaca Al-Qur’an tanpa menyentuh mushaf, semua sepakat memperbolehkan.

Wudhu menjadi sunnah:

  1. Ketika dzikrullah. Pernah ada seseorang yang memberi salam kepada Nabi saw. yang sedang berwudhu, dan Nabi tidak menjawab salam itu sehingga menyelesaikan wudhunya dan bersabda, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku menjawab salammu, kecuali karena aku tidak ingin menyebut nama Allah kecuali dalam keadaan suci.” (Al-Khamsah, kecuali At Tirmidzi).
  2. Ketika hendak tidur, seperti hadits Nabi saw., “Jika kamu mau tidur hendaklah berwudhu sebagaimana wudhu shalat.” (Ahmad, Al-Bukhari dan At Tirmidzi)
  3. Bagi orang junub yang hendak makan, minum, mengulangi hubungan seksual, atau tidur. Demikianlah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw oleh Bukhari, Muslim dan muhadditsin lainnya.
  4. Disunnahkan pula ketika memulai mandi, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah r.a.
  5. Disunnahkan pula memperbaharui wudhu setiap shalat, seperti yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan kebanyakan ulama hadits. []

Catatan Kaki:

[1] Keduanya wajib menurut Imam Ahmad, karena keduanya termasuk dari wajah.

Foto: abdel-karim.es

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/07/26/842/cara-berwudhu/#ixzz5LPyfDlXc
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

MANDI wajib

Sebab – sebab yang menyebabkan mandi wajib

Ada beberapa peristiwa yang menjadi sebab diharuskannya mandi wajib . sebab – sebab tersebut antara lain :

  1. Bersetubuh (hubungan suami istri / bertemunya kedua khitanan ).
  2. Keluarnya air mani . ( keluar karena bersetubuh atau karena yang lain ).
  3. Orang yang meninggal dunia .
  4. Seorang wanita yang selesai keluar haid .
  5. Seorang wanita yang selesai melahirkan ( wiladah ).
  6. Seorang wanita yang selesai mengeluarkan nifas ( darah yang keluar setelah melahirkan ).

nomor satu dan dua di sebut dengan keadaan junub atau janabat .

Fardunya mandi wajib

fardu mandi wajib yaitu sesuatu yang harus dilakukan dikala mandi wajib . Yang termasuk kedalam fardu mandi wajib antara lain :

a. Niat 

Seperti halnya wudhu , niat dibaca pada saat membasuh muka dan dilakukan pada awal akan memulai membasuh / mengguyur seluruh bagian tubuh .

Lafadz niat mandi wajib baik secara umum , karena janabat , karena haid ataupun karena setelah nifas :

tata cara mandi wajib

Lafadz Niat Mandi wajib karena junub / janabt , yaitu :

tata cara mandi wajib

Lafadz Niat Mandi Wajib karena selesai haid / menstruasi :

Tatacara mandi wajib

Lafadz Niat Mandi Wajib karena selesai nifas :

tatacara mandi wajib

b. Membasuh seluruh badan dengan air tanpa ada yang tersisa , yakni dari ujung kepala sampai ujung kaki dan rambut sehelaipun tidak boleh ada yang tidak basah .

c. Membersihkan / menghilangkan najis .

Sunnah – sunnah mandi wajib

Sunnah – sunnah mandi wajib yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan ataupun tidak namun lebih baik dikerjakan , karena tidak kalah penting dari yang menjadi fardu mandi wajib . Sunnah – sunnah tersebut adalah :

a. Membersihkan najis dari seluruh tubuh tertlebih dahulu sebelum mandi .

b. Berwudhu sebelum dan sesudah mandi .

c. Membaca Basmallah ( BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM ) Pada saat memulai mandi .

d. Menghadap kiblat saat mandi , dan mendahulukan bagian kanan yang dibasuh saat mandi .

e. Membasuh badan sebanyak tiga kali .

f. Membaca do’a setelah mandi , seperti halnya berdo’a setelah wudhu .

Larangan Bagi sesesorang yang dalam keadaan junub / janabat

Orang yang dalam keadaan junub , maka tidak boleh melakukan hal – hal sebagai berkut :

  • Melaksanakan shalat .
  • Tawaf di Baitullah .
  • Memegang kitab suci Al- qur’an .
  • Membawa / mengangkat kitab al-qur’an .
  • Membaca ayat Al-qur’an .
  • Berdiam diri di masjid .

Larangan bagi orang yang haid / menstruasi

Seorang wanita yang sedang haid , maka tidak boleh melakukan hal – hal seperti yang telah dijelaskan tadi mengenai yang tidak boleh dilakukan oleh orang junub ,tetpi ada tambahan lagi tentang larangan bagi orang haid , hal tersebut adalah :

  • Berhubungan suami istri .
  • Berpuasa baik puasa wajib ataupun puasa sunnah .
  • Dijatuhkan talak .

Tata cara Mandi Wajib

Tata cara mandi wajib yang benar yaitu sebagai berikut :

1.Langkah pertama yaitu memebersihkan seluruh badan dari najis , Setelah itu mengambil air wudhu .

2. Setelah semua najis telah bersih , maka selanjutnya mengguyur air dari ujubg rambut sambil membaca niat dan tidak lupa menghadap kiblat . Diulang sebanyak 3 kali sampai seluruh tubuh basah semua .

3. Mendahulukan menggosok badan bagian kanan sebanyak 3 kali , lalu bagian kiri juga 3 kali .

4. Menyela – nyela rambut denagn jari , karena takut ada bagian kulit kepala yang belum basah dan biar lebih bersih.

5. Tidak lupa menggunakan sabun agar lebih bersih .

6. Setelah itu membilas juga diawali dari bagian tubuh sebelah kanan lalu kiri diulang sampai benar – benar bersih .

7. Setelah bersih , maka selanjutnya wudhu dan berdo’a setelah wudhu .

Demikian penjelasan mengenai bagaimana tatacara mandi wajib yang sesuai dengan ilmu fiqih. Pada dasarnya mandi itu kegiatan sehari – hari yang tidak lepas dari kita . Coba bayangkan apabila kita sehari tidak mandi , rasanya sudah bagaimana . Apa lagi dalam keadaan junub / janabat , atau bagi wanita yang telah haid .Apabila tidak dibersihkan dengan benar – bersih , selain diwajibkan dalam agama islam mandi saat hadas besar juga bisa berpengaruh pada kesehatan kita . Karena mandi merupakan salah satu cara menjaga kesehatan badan . Semoga bermanfaat , dan semoga kesalahan kita tedahulu saat mandi wajib karena tidak tahu niat mandi wajib itu bagaiman , semoga diampuni oleh Allah swt .AMIN

Anusy Prophet

Setelah kasus terbunuhnya Habil oleh saudaranya Qabil, kemudian Siti Hawa melahirkan anak kembar lagi. Yang laki-laki diberi nama Syits (dalam bahasa Arab dan Ibrani) atau Syats (dalam bahasa Suryani). Sedangkan yang perempuan diberi nama ‘Azura.

Pengarang kitab Qasas Al- Anbiya (Hal. 59) menyebutkan bahwa setelah menderita sakit selama 11 hari, nabi Adam As wafat. Ketika masih sakit, Nabi Adam berwasiat kepada Syits untuk menggantikan posisi kepemimpinannya. Nabi Adam juga mengingatkan Syits menjaga kerahasiaan pelimpahan mandat ini agar jangan sampai diketahui oleh Qabil, sang pendengki.

Menurut keterangan Ibnu Abbas, ketika Syits Dilahirkan, nabi Adam sudah berusia 930 tahun. Nabi Adam sengaja memilih Syits sebab anaknya yang satu ini memiliki kelebihan dari segi keilmuan, kecerdasan, ketakwaan dan kepatuhan dibandingkan dengan semua anaknya yang lain.

Sebagai Nabi, Syits As menerima perintah-perintah dari Allah SWT yang tertulis dalam 50 Sahifah. Demikian keterang dari hadits nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Dzar al-Ghifari sebagaimana dikutip dalam Tarikh Thabari (Jil. 1, hal 152). Patut kita perhatikan bahwa dalam memilih pemimpin, nabi Adam As menjadikan ketakwaan, kecerdasan dan ketaatan sebagai kriteria utama. Nabi Adam As mengebawahkan faktor usia, postur tubuh, kekuatan fisik dan aspek-aspek lainnya.

Nasihat Nabi Adam As kepada Nabi Syits As:

1. Janganlah kamu merasa tenang dan aman hidup di dunia. Karena aku merasa tenang hidup di surga yang bersifat abadi, ternyata aku dikeluarkan oleh Allah daripadanya.

2. Janganlah kamu bertindak menurut kemauan hawa istri-istri kamu. Karena aku bertindak menurut kesenangan hawa istriku, sehingga aku memakan pohon terlarang lalu aku menjadi menyesal.

3. Setiap perbuatan yang kamu lakukan, renungkan terlebih dahulu akibat yang akan ditimbulkan. Seandainya aku merenungkan akibat suatu perkara, tentu aku tidak tertimpa musibah seperti ini.

4. Ketika hati kamu merasakan kegamangan akan sesuatu, maka tinggalkanlah ia. Karena ketika aku hendak makan syajarah, hatiku merasa gamang, tetapi aku tidak menghiraukannya, sehingga aku benar-benar menemui penyesalan.

5. Bermusyawarahlah mengenai suatu perkara, karena seandainya aku bermusyawarah dengan para malaikat, tentu aku tidak akan tertimpa musibah.

Dalam kisah lain dicetuskan: Wahab bin Munabbih mengatakan, ketika Adam As meninggal, Syits As berusia 400 tahun. Dia telah diberi tabut, tali, pedang dan kudanya yang bernama Maimun yang telah diturunkan kepadanya dari surga. Apabila kuda itu meringkik, semua binatang yang melata di bumi menyambutnya dengan tasbih. Syits As telah diwasiati untuk memerangi saudaranya, Qabil. Dia pergi memerangi Qabil dan akhirnya perang itu pun berkecamuk. Itulah perang pertama yang terjadi antara anak-anak Adam di muka bumi. Dalam peperangan itu, Syits As memperolehh kemenangan dan dia menawan Qabil.

Qabil sebagai tawanan berkata, ”wahai Syits, jagalah persaudaraan di antara kita”. Syits As berkata, ”mengapa engkau sendiri tidak menjaganya? Engkau telah membunuh saudaramu, Habil”. Kemudian Qabil ditawan oleh Syits As, kedua tangannya dibelenggu di atas pundaknya, dan dia ditahan di tempat yang panas sampai meninggal.

Anak-anak Qabil bermaksud menguburkannya. Tiba-tiba Iblis datang kepada mereka dalam rupa malaikat. Iblis berkata kepada mereka, ”Jangan dikubur di dalam bumi”. Iblis membawakan dua batu hablur yang telah dilubangi tengah-tengahnya. Dia menyuruh mereka memasukkan Qabil ke dalam ruang antara dua batu hablur itu. Memakaikannya dengan pakaian terindah dan meminyakinya dengan ramuan-ramuan tertentu sehingga dia tidak mengering. Lalu Iblis menyuruh mereka menyimpannya di sebuah rumah, diletakkan di atas kursi yang terbuat dari emas dan memerintahkan kepada setiap orang yang masuk kerumah itu untuk bersujud kepadanya sebanyak tiga kali. Iblis memerintahkan kepada mereka untuk merayakan upacara setiap tahun untuknya dan berkumpul di sekitarnya. Kemudian Iblis mewakilkan urusan ini kepada setan. Setan itulah yang kemudian berkomunikasi dengan mereka sehingga manusia terus-menerus sujud kepada Qabil.

Sementara Syits As, setelah dia menunaikan tugasnya memerangi Qabil, dia pulang ke negerinya dan menetap di sana sebagai juru pemutus yang adil di antara manusia. Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa Hawa, Istri Adam As, meninggal di zaman anaknya, Syits As. Setelah meninggalnya Adam, Hawa tidak hidup lama, hanya setahun, dan meninggal di hari jum’at dalam waktu yang sama ketika dia diciptakan.

Diriwayatkan bahwa Hawa dikuburkan berdekatan dengan Adam As. Setelah kepergian mereka, Allah menurunkan 50 Sahifah kepada Syits As. Dialah orang pertama yang mengeluarkan kata-kata hikmah. Dialah yang pertama kali melakukan transaksi emas dan perak dan orang pertama yang memperkenalkan jual beli, membuat timbangan dan takaran. Dan dialah orang pertama yang menggali barang tambang dari dalam bumi.

Selanjutnya, Nabi Syits As mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama Anusy. Di dalam kening Syits As terdapat cahaya Muhammad SAW yang berpindah kepadanya dari Adam As. Setelah Anusy lahir, cahaya tersebut berpindah ke keningnya. Oleh karena itu, Syits As tahu bahwa ajalnya sudah dekat. Dia melihat rambut-rambut sudah memutih. Maka, pada tahun itu Syits As meninggal dunia dalam umur 900 tahun.

Wahab bin Munabbih mengatakan, setelah Syits As meninggal, dia digantikan oleh anaknya, Anusy. Sebelum meninggal, Syits As menyerahkan tabut, tali, suhuf, dan cincin kepada Anusy. Anusy berperilaku dengan baik dan memutuskan dengan benar. Kemudian dia menikah dengan seorang wanita yang kemudian mengandung seorang anak. Setelah anak itu lahir, cahaya Muhammad SAW yang ada pada Anusy pindah ke wajahnya. Anak tersebut diberi nama Qainan. Anusy terus melakukan kebiasaannya sampai dia menemui ajalnya. Sebelum meninggal, dia serahkan tabut dan shuhuf kepada anaknya, Qainan. Dia memberi wasiat dan mengangkatnya sebagai pengganti setelahnya.

Setelah Qainan diangkat menjadi pemimpin setelah bapaknya, dia muncul di antara manusia dengan adil. Menjalankan perilaku yang baik. Kemudian menikah dengan seorang wanita yang bernama Uthnuk. Dari pernikahan tersebut, Uthnuk mengandung seorang anak laki-laki. Setelah lahir, anak tersebut diberi nama Mahlaila dan cahaya Muhammad SAW pindah ke keningnya. Selanjutnya, Qainan sakit, yang membawanya pada kematian. Maka, dia serahkan tabut dan suhuf kepada anaknya dan mengangkatnya sebagai penggantinya. Berikut Mahlaila meninggal dan cahaya beralih ke anaknya yang bernama Yarid. Yarid pun meninggal dan cahaya itu berpindah ke anaknya yang bernama Ukhnukh, yang kemudian dikenal dengan Nabi Idris As.

sumber
http://religi.pun.bz/kisah-nabi-syit…an-qobil.xhtml
***Kisah Nabi Syits AS Putra Nabi Adam AS Leluhur Umat Manusia**

Ilyas Prophet

 Nabi Ilyas adalah putra Yasin bin Finhash dan salah satu keturunan Nabi Harun. Dia diutus oleh Allah SWT untuk menjadi seorang Nabi dan menjadi pembimbing bagi kaum Yordan. Beliau mendapat amanat untuk mengajak kaum Israil kembali kepada ajaran Allah. Ketika itu kaum Bani Israil terkenal akan kebiasaan menyembah berhala yang bernama Baal. Berhala itu berada di tengah-tengah kota, sehingga kota tersebut dijuluki dengan kota Baalbak.Dikutip dari buku Kisah Hikayat Nabi Ilyas AS Dalam Islam, karya Muhammad Xenoryuki menjelaskan, Nabi Ilyas memulai misinya dengan berdakwah kepada kaum Bani Israil. Beliau selalu mengingatkan dan mengajak kaum Bani Israil untuk kembali kepada ajaran Allah. Ketika Nabi Ilyas melihat kenyataan bahwa kaumnya sedang menyembah berhala Baal, Nabi Ilyas berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu tidak bertakwa? Patutkah kamu menyembah Baal dan kamu tinggalkan sebaik-baik Pencipta, (yaitu) Allah Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu?”. (QS As-Saffat ayat 124-126).

Mendengar ajakan dari Nabi Ilyas, kaum Bani Israil begitu marah dan berkata, “Hai Ilyas, berani sekali engkau meminta kepada kaum kami untuk meninggalkan tuhan-tuhan kami. Sesungguhnya, kami melakukan hal itu karena bapak-bapak kami juga telah melakukan hal tersebut,” seru kaum Bani Israil kepada Nabi Ilyas.

Bahkan kaum Bani Israil terang-terangan menghina dan mengejek Nabi Ilyas. Walaupun begitu, Nabi Ilyas tetap sabar dan terus berdakwah kepada kaum Bani Israil.

Sementara itu, kaum Bani Israil bersekongkol untuk menyingkirkan Nabi Ilyas. Mereka mengejar-ngejar dan mengusir Nabi Ilyas. Nabi Ilyas pun terpaksa berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghilangkan jejaknya agar terhindar dari kejahatan kaum Bani Israil. Dalam pelariannya tersebut, Nabi Ilyas sampai di sebuah rumah yang dihuni oleh keluarga yang baik hati.

Mereka menerima Nabi Ilyas tanpa pamrih. Saat itu, salah satu anggota keluarga di rumah itu sedang menderita sakit. Orang itu adalah Nabi Ilyasa yang beberapa tahun kemudian diutus menjadi Nabi dan menemani dakwah Nabi Ilyas.

Ketika masih muda, Nabi Ilyasa menderita sakit keras. Akhirnya, Nabi Ilyas berdoa kepada Allah SWT untuk memohon kesembuhan Nabi Ilyasa. Dengan izin Allah, Nabi Ilyasa sembuh dari penyakitnya tersebut. Sikap yang dilakukan Nabi Ilyas, dalam menyembuhkan Nabi Ilyasa membuatnya tertarik untuk mengikuti ajaran Nabi Ilyas. Setelah Nabi Ilyasa melihat Nabi Ilyas dapat menyembuhkan penyakitnya yang cukup parah melalui pertolongan Allah SWT, hal itu menjadi bukti baginya mengikuti ajaran Nabi Ilyas dan beribadah kepada Allah. Sejak sat itu Nabi Ilyas memiliki teman untuk berdakwah.

Sementara itu, tiga tahun telah berlalu sejak Nabi Ilyas diusir oleh kaum Bani Israil. Kaum Bani Israil dilanda kekeringan selama tiga tahun, mereka sangat menderita karena kelaparan dan kematian pun menjadi pemandangan sehari-hari. Mereka mengalami kekurangan air, dan hidup tersiksa. Di samping itu, banyak tanaman dan binatang ternak yang akhirnya mati. Kekeringan terus berlanjut dan tidak ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Akhirnya beberapa tokoh masyarakat berkumpul dan membicarakan masalah kekeringan di kota mereka.

Salah seorang dari kaum Bani Israil berkata, “Kita telah diinatkan oleh Ilyas sebelumnya. Akan tetapi, kita tidak memedulikannya, bahkan kita mengusirnya. Sekarang, apa yang diucapkannya telah terjadi kepada kita”. “Lalu, apa usulmu untuk terhindar dari azab ini?,” jawab salah satu kaum Bani Israil. “Kita harus menemukan Ilyas dan bertobat kepada Allah. Lalu, kita minta Ilyas agar memohon kepada Allah untuk tidak mengazab kita,” usul salah satu kaum Bani Israil.

Seketika itu mereka berbondong-bondong dan bertekad mencari Nabi Ilyas, mereka berharap agar Nabi Ilyas dapat membantu mereka keluar dari penderitaan yang telah berlangsung lama tersebut.

Setelah melakukan pencarian yang cukup lama, akhirnya kaum Bani Israil dapat menemukan Nabi Ilyas yang telah ditemani Nabi Ilyasa. Mereka memohon kepada Nabi Ilyas untuk membantu keluar dari penderitaan akibat kemarau yang panjang menimpa mereka selama tiga tahun terakhir. Kaum Bani Israil berjanji kepada Nabi Ilyas akan beriman kepada Allah dan mentaati perintah Nya. Kemudian, mereka pun menghancurkan berhala-berhala mereka secara beramai-ramai. Kaum Bani Israil pun segera beriman kepada Allah.

Melihat penderitaan kaum Bani Israil, akhirnya Nabi Ilyas luluh karena tidak tega melihat penderitaan mereka. Nabi Ilyas kemudian berdoa kepada Allah SWT agar kaum Bani Israil diberikan rahmat-Nya dengan menurunkan hujan. Tak lama kemudian, hujan turun membasahi kota Baalbak. Tanaman mulai tumbuh, dan orang-orang serta binatang mulai dapat menggunakan air sesuai dengan kebutuhan mereka. Kaum Bani Israil pun kembali hidup makmur dan sejahtera.

Namun beberapa tahun kemudian, kaum Bani Israil kembali pada kebiasaan mereka dan mengingkari janjinya dengan kembali menyembah berhala dan menggunakan harta benda mereka untuk berbuat maksiat. Akhirnya Nabi Ilyas kembali berdoa kepada Allah agar kaum Bani Israil mendapatkan azab-Nya. Tak lama kemudian, mereka tertimpa azab dari Allah SWT. [hhw]

Yusa Bin nu’n

Matahari Ditahan Terbenam Untuk Nabi Yusya’ Bin Nun Nabi Musa ‘alaihis salam memiliki seorang murid yang menemaninya mencari Ilmu. Dia adalah Yusya’ Bin Nun, dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan hikmah kenabian dan mukjizat yang nyata kepadanya. Setelah Nabi Musa ‘alaihis salam wafat, Nabi Yusya’ bin Nun ‘alaihis salam membawa Bani Israil ke luar dari padang pasir. Mereka berjalan hingga menyeberangi sungai Yordania dan akhirnya sampai di kota Jerussalem

Kota Jerica adalah sebuah kota yang mempunyai pagar dan pintu gerbang yang kuat. Bangunan-bangunan di dalamnya tinggi-tinggi serta berpenduduk padat. Nabi Yusya’ dan Bani Israil yang bersamanya, mengepung kota tersebut sampai enam bulan lamanya.

Suatu hari, mereka bersepakat untuk menyerbu ke dalam. Diiringi dengan suara terompet dan pekikan takbir, dan dengan satu semangat yang kuat, mereka pun berhasil menghancurkan pagar pembatas kota, kemudian memasukinya. Di situ mereka mengambil harta rampasan dan membunuh dua belas ribu pria dan wanita. Mereka juga memerangi sejumlah raja yang berkuasa. Mereka berhasil mengalahkan sebelas raja dan raja-raja yang berkuasa di Syam. Hari itu hari Jum’at, peperangan belum juga usai, sementara matahari sudah hampir terbenam. Berarti hari Jum’at akan berlalu, dan hari Sabtu akan tiba.

Padahal, menurut syari’at pada saat itu, pada Sabtu dilarang melakukan peperangan. Oleh karena itu Nabi Yusya’ bin Nun berkata: “Wahai matahari, sesungguhnya engkau hanya mengikuti perintah Alloh Subhanahu wa Ta’ala, begitu pula aku. Aku bersujud mengikuti perintahNya. Ya Alloh Subhanahu wa Ta’ala, tahanlah matahari itu untukku agar tidak terbenam dulu!”. Maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala  menahan matahari agar tidak terbenam sampai dia berhasil menaklukkan negeri ini dan memerintahkan bulan agar tidak menampakkan dirinya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, yang artinya: “Sesungguhnya matahari itu tidak pernah tertahan tidak terbenam hanya karena seorang manusia kecuali untuk Yusya’. Yakni pada malam-malam dia berjalan ke Baitul Maqdis (untuk jihad).’” (HR: Ahmad dan sanad-nya sesuai dengan syarat Al-Bukhari).

Akhirnya Nabi Yusya’ dan kaumnya berhasil memerangi dan menguasai kota tersebut. Setelah itu Nabi Yusya’ bin Nun memerintahkan kaumnya untuk mengumpulkan harta rampasan perang untuk dibakar. Namun api tidak mau membakarnya. Lalu Beliau meminta sumpah kepada kaumnya. Dan akhirnya diketahui ternyata ada dari kaumnya yang berkhianat dengan menyembunyikan emas sebesar kepala sapi.

Akhirnya orang-orang yang berkhianat mengembalikan apa yang mereka curi dari harta rampasan perang itu. Kemudian dikumpulkan dengan harta rampasan perang lainnya. Barulah kemudian api mau membakarnya.

Demikian syariat yang dibawa oleh Nabi sebelum Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi Wa Sallam. Yaitu tidak boleh mengambil harta rampasan perang. Dan Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyempurnakan Syariat Nya dengan memperbolehkan bagi Rasululloh Shollallahu ‘alaihi Wa Sallam untuk mengambil rampasan perang agar dapat diambil manfaat yang banyak dari harta rampasan perang itu.

Setelah Baitul Maqdis dapat dikuasai oleh Bani Israil, maka mereka hidup di dalamnya dan di antara mereka ada Nabi Yusya’ yang memerintah mereka dengan Kitab Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Taurat, sampai akhir hayatnya. Dia kembali ke hadirat Alloh Subhanahu wa Ta’ala saat berumur seratus dua puluh tujuh tahun, dan masa hidupnya setelah wafatnya Nabi Musa  ‘alaihis salam adalah dua puluh tujuh tahun.

(Sumber Rujukan: Al Qur’anul Karim; Riyadhus Shalihin; Syarah Lum’atil I’tiqod)

Perang Khandaq

Khandaq berarti Parit. Nama ini digunakan untuk menyebut sebuah perang yang terjadi pada tahun ke-5 setelah Hijrah ke Madinah (Tahun 627 Masehi). Perang Khandaq adalah perang umat Islam melawan pasukan aliansi yang terdiri dari Bangsa Quraisy, Yahudi, dan suku Ghathafan. Perang Khandaq disebut juga Perang Ahzab, yang artinya Perang Gabungan. Muaranya adalah ketidakpuasan beberapa orang Yahudi dari Bani Nadir dan Bani Wa’il akan keputusan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menempatkan mereka di luar Madinah. Dari Bani Nadir adalah Abdullah bin Sallam bin Abi Huqaiq; Huyayy bin Akhtab; dan Kinanah ar-Rabi bin Abi Huqaiq. Sedangkan dari Bani Wa’il adalah Humazah bin Qais dan Abu Ammar.

Peristiwa ini terjadi pada bulan Syawal tahun kelima hijriyah, menurut pendapat yang paling tepat. Karena sebagian ulama berbeda pendapat tentang waktu terjadinya peristiwa besar ini. Ibnu Hazm berpendapat bahwa kejadian ini terjadi pada tahun keempat hijriyah. Sedangkan ulama lainnya seperti Ibnul Qayyim merajihkan bahwa peristiwa ini terjadi tahun kelima hijriyah. (Zadul Ma’ad, 3/269-270)

Awal Mula Peperangan

Di antara sebab peristiwa ini ialah seperti yang diceritakan oleh Ibnul Qayyim (Zadul Ma’ad, 3/270). Beliau mengatakan:

“Ketika orang-orang Yahudi melihat kemenangan kaum musyrikin atas kaum muslimin pada perang Uhud, dan mengetahui janji Abu Sufyan untuk memerangi muslimin pada tahun depan (sejak peristiwa itu), berangkatlah sejumlah tokoh mereka seperti Sallam bin Abil Huqaiq, Sallam bin Misykam, Kinanah bin Ar-Rabi’, dan lain-lain ke Makkah menjumpai beberapa tokoh kafir Quraisy untuk menghasut mereka agar memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka menjamin akan membantu dan mendukung kaum Quraisy dalam rencana itu”.

Quraisy pun menyambut hasutan itu.

Kekuatan Pasukan Quraisy

Setelah itu, tokoh-tokoh Yahudi tadi menuju Ghathafan dan beberapa kabilah Arab lainnya untuk menghasut mereka. Maka disambutlah hasutan itu oleh mereka yang menerimanya. Kemudian keluarlah Quraisy yang dipimpin Abu Sufyan dengan 4.000 personil, diikuti Bani Salim, Bani Asad, Bani Fazarah, Bani Asyja’, dan Bani Murrah.

Namun musuh-musuh Allah dari umat Yahudi belum puas terhadap hasil yang dilakukan, setelah mereka mengetahui bahwa Quraisy telah menerima ajakan mereka untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang beriman di Madinah, mereka keluar dan pergi ke suku Ghathafan dari Qais Gailan, mengajak mereka  untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti halnya yang mereka lakukan terhadap Quraisy, dan menyatakan bahwa mereka (Yahudi) akan selalu bersama mereka. Mereka tetap tinggal di tempat mereka hingga suku Ghathafan menyetujuinya. Kemudian setelah itu mereka menemui Bani Fazarah dan Bani Murrah, dan berhasil mengajak mereka untuk memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umat Islam di Madinah.

Oleh karena itulah pasukan begitu banyak dan peralatan begitu lengkap, suku Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb, suku Ghathafan di pimpin oleh Uyaynah bin Hisn bin Hudzaifah bin Badr pada Bani Fazarah, Bani Murrah di pimpin oleh Harits bin Auf, Bani Asyja’ di pimpin oleh Mas’ud bin Rakhilah bin Nuwairah bin Tharif bin Samhah bin Ghathafan. Mereka bergerak dengan jumlah yang banyak dan peralatan yang lengkap untuk satu tujuan; perang melawan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bersepakat untuk berkumpul di Khaibar, dan jumlah mereka dari berbagai kelompok dan suku adalah 10.000 pasukan, adapun pucuk pimpinan dalam perang tersebut dipegang oleh Abu Sufyan bin Harb.

Strategi Parit dari Sahabat Salman Al-Farisi

salman_the_persian

Ketika mendengar langkah-langkah yang dilakukan oleh yahudi dan berhasil mengumpulkan pasukan dari berbagai suku Arab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan musyawarah dengan para sahabat untuk menghadapi pasukan yang banyak tersebut. Pada saat itu jumlah umat Islam masih sedikit; hanya sekitar 3000 personil, padahal jumlah pasukan musuh telah mencapai 10.000 personil. Tentunya mereka beranggapan tidak ada daya dan kekuatan untuk menghadapi mereka secara konfrontatif, kecuali dengan membangun benteng sehingga dapat menghalangi langkah musuh. Umat Islam ketika itu berhadapan dengan dua buah pilihan yang sama beratnya. Mereka tidak mungkin menyongsong pasukan lawan karena sama saja bunuh diri. Namun untuk bertahan pun, jumlah mereka terlampau sedikit.

Namun Salman Al-Farisi punya ide lain. Beliau berkata:

”Wahai Rasulullah, sewaktu kami di Persia, jika kami diserang, kami membuat parit, alangkah baik jika kita juga membuat parit sehingga dapat menghalangi dari mereka melakukan serangan”.

Secara cepat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pendapat Salman. Maka dari itu, membuat parit menjadi peristiwa pertama yang disaksikan oleh kabilah Arab dan umat Islam, karena mereka belum pernah menyaksikan sebelumnya parit sebagai sarana untuk berperang. Inilah asal muasal nama Perang Khandaq.

Pekerjaan Membuat Parit

peta-khandak

Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat keluar dari kota Madinah dan berkemah di salah satu tempat di bukit gunung Sala’ sehingga membelakangi kota Madinah. Kemudian mereka mulai melakukan penggalian parit untuk memisahkan antara mereka dan musuh. Pada saat itu umat Islam berjumlah 3000 personil. Rasulullah mulai membuat peta penggalian; dimulai dari Ajam Syaikhain (benteng yang dekat dengan kota Madinah yang diberi nama Syaikhain) yang terletak di ujung Bani Haritsah; dan memanjang hingga mencapai garis di Al-Madzadz –salah tempat di Madinah- dan lebarnya 40 hasta pada setiap 10 lubang.

Selama membangun parit dalam waktu 6 hari, pertahanan kota di bagian lain juga diperkuat. Wanita dan anak-anak dipindahkan ke rumah yang kokoh dan dijaga ketat. Bongkahan batu-batu diletakkan di samping parit untuk melempari pasukan lawan. Sementara sisi kota yang tidak dibuat parit, diserahkan pengamanannya pada Bani Quraizhah.

Penerapan strategi ini sangat tepat sebab pasukan lawan tidak mengetahui pertahanan menggunakan parit. Sebelumnya, mereka biasa berperang dengan tenik maju-mundur; menyerang, dan lari. Terbukti strategi ini cukup bisa membendung para penyerang. Selama satu bulan penuh, tidak ada kontak langsung antara kedua pihak kecuali saling lempar panah.

Umat Islam bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai bekerja membuat parit dan mereka menganggapnya sebagai ibadah yang akan ada ganjarannya kelak. Mereka saling bergotong royong dan saling membantu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun begitu giat bekerja sehingga umat Islam juga terpacu dengan semangat untuk melakukannya.

Namun di dalam pekerjaan, kaum munafiqin melakukan manuver untuk memperlambat pekerjaan, mereka kadang lamban bekerja, pergi lalu lalang kesana kemari tanpa tujuan yang jelas dan bahkan mereka sengaja pergi ke keluarga mereka tanpa sepengetahuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, disamping ada sebagian umat Islam yang jika terdesak untuk pulang maka dia memberikan wakil dari pekerjaannya dan meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam izin agar dapat memenuhi hajatnya. Dan jika selesai menunaikan hajatnya, mereka kembali lagi pada pekerjaan semula karena berharap kebaikan di dalamnya dan keridhaan Allah swt.

Dari peristiwa tersebut turunlah firman Allah swt:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَإِذَا كَانُوْا مَعَهُ عَلىَ أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوْا حَتَّى يَسْتَأْذِنُوْهُ … إلى قوله…  َاسْتَغْفِرِ اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mukmin ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka Itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Maka apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS An-Nuur:62)

Merekapun mulai bekerja siang malam menggali parit itu. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut serta mencangkul, mengangkat pasir dan seterusnya. Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya dari Al-Barra` radhiyallahu ‘anhu:

رَأَيْتُ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ يَنْقُلُ التُّرَابَ حَتَّى وَارَى التُّرَابُ شَعْرَ صَدْرِهِ وَكَانَ رَجُلاً كَثِيْرَ الشَّعْرِ وَهُوَ يَرْتَجِزُ بِرَجَزِ عَبْدِ اللهِ: اللَّهُمَّ لَوْ لاَ أَنْتَ مَا اهْتَدَيْنَا وَلاَ تَصَدَّقْنَا وَلاَ صَلَّيْنَا فَأَنْزِلَنْ سَكِيْنَةً عَلَيْنَا وَثَبَّتِ اْلأَقْدَامَ إِنْ لاَقَيْنَا إِنَّ اْلأَعْدَاءَ قَدْ بَغَوْا عَلَيْنَا إِذَا أَرَادُوا فِتْنَةً أَبَيْنَا يَرْفَعُ بِهَا صَوْتَهُ

“Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa Khandaq sedang mengangkut tanah sampai tanah itu menutupi bulu dada beliau. Dan beliau adalah laki-laki yang lebat bulu dadanya. Ketika itu beliau melantunkan syair Abdullah bin Rawahah sambil menyaringkan suaranya: “Ya Allah kalau bukan karena Engkau niscaya kami tidak mendapat petunjuk, tidak bersedekah dan tidak pula shalat. Maka turunkanlah ketenangan atas kami. Dan kokohkan kaki kami ketika bertemu (musuh). Sesungguhnya musuh-musuh telah mendzalimi kami. Bila mereka menginginkan fitnah, tentu kami menolaknya”

Dan ditengah pekerjaan mereka, umat Islam dikejutkan dengan suatu peristiwa, seperti yang diriwayatkan oleh Amru bin Auf; ketika saya (al-Barra) bersama Salman, Hudzaifah bin Al-Yamani, Nu’man bin Muqrin Al-Mazni, serta 6 sahabat dari Anshar dalam lubang 40 hasta, kami membuat lubang dibawah salah satu pintu hingga sampai ada bau wangi, maka Allah mengeluarkan dari perut bumi batu besar berwarna putih. Batu putih itu bersinar dan terdapat di dalamnya api dan keluar darinya. Namun batu itu membuat patah alat yang kami gunakan untuk menggali, sehingga membuat kami cemas.

Maka kamipun berkata: “Wahai Salman, pergilah menghadap Rasul dan sampaikan berita peristiwa tentang batu besar ini!! Apakah kita akan menyimpangkan lubang darinya karena tempatnya begitu dekat, atau apakah beliau punya perintah lain; karena kami tidak mau menyimpang dari peta yang telah beliau buat”

Maka Salmanpun pergi menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan peristiwa yang terjadi, sehingga Rasulullah saw datang dan melihat apa yang terjadi; maka Salman berkata:

“Wahai Rasulullah, demi Allah, telah keluar batu besar berwarna putih dan bersinar dari parit ini, hingga mematahkan besi yang kami pergunakan untuk menggali parit, dan membuat kami khawatir, karena itu perintahkanlah kepada kami, apa yang seharusnya kami lakukan, karena kami tidak ingin menyimpang dari garis yang telah engkau buat”.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun turun bersama Salman ke dalam Khandaq, dan bersama sahabat lainnya.

Dalam riwayat Ahmad dan An-Nasa`i, dari Abu Sukainah radhiyallahu ‘anhu dari salah seorang shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya dengan sanad yang jayyid, disebutkan:

لَمَّا أَمَرَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَفْرِ الْخَنْدَقِ عَرَضَتْ لَهُمْ صَخْرَةٌ حَالَتْ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ الْحَفْرِ فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ الْمِعْوَلَ وَوَضَعَ رِدَاءَهُ نَاحِيَةَ الْخَنْدَقِ وَقَالَ: تَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. فَنَدَرَ ثُلُثُ الْحَجَرِ وَسَلْمَانُ الْفَارِسِيُّ قَائِمٌ يَنْظُرُ فَبَرَقَ مَعَ ضَرْبَةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرْقَةٌ ثُمَّ ضَرَبَ الثَّانِيَةَ وَقَالَ: تَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. فَنَدَرَ الثُّلُثُ اْلآخَرُ فَبَرَقَتْ بَرْقَةٌ فَرَآهَا سَلْمَانُ ثُمَّ ضَرَبَ الثَّالِثَةَ وَقَالَ: تَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلاً لاَ مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. فَنَدَرَ الثُّلُثُ الْبَاقِي وَخَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رِدَاءَهُ وَجَلَسَ، قَالَ سَلْمَانُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ رَأَيْتُكَ حِيْنَ ضَرَبْتَ مَا تَضْرِبُ َرْبَةً إِلاَّ كَانَتْ مَعَهَا بَرْقَةٌ. قَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا سَلْمَانُ، رَأَيْتَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: إِي، وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: فَإِنِّي حِيْنَ ضَرَبْتُ الضَّرْبَةَ اْلأُولَى رُفِعَتْ لِي مَدَائِنُ كِسْرَى وَمَا حَوْلَهَا وَمَدَائِنُ كَثِيْرَةٌ حَتَّى رَأَيْتُهَا بِعَيْنَيَّ. قَالَ لَهُ مَنْ حَضَرَهُ مِنْ أَصْحَابِهِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، ادْعُ اللهَ أَنْ يَفْتَحَهَا عَلَيْنَا وَيُغَنِّمَنَا دِيَارَهُمْ وَيُخَرِّبَ بِأَيْدِيْنَا بِلاَدَهُمْ. فَدَعَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ. ثُمَّ ضَرَبْتُ الضَّرْبَةَ الثَّانِيَةَ فَرُفِعَتْ لِي مَدَائِنُ قَيْصَرَ وَمَا حَوْلَهَا حَتَّى رَأَيْتُهَا بِعَيْنَيَّ. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ ادْعُ اللهَ أَنْ يَفْتَحَهَا عَلَيْنَ وَيُغَنِّمَنَا دِيَارَهُمْ وَيُخَرِّبَ بِأَيْدِيْنَا بِلاَدَهُمْ. فَدَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ. ثُمَّ ضَرَبْتُ الثَّالِثَةَ فَرُفِعَتْ لِي مَدَائِنُ الْحَبَشَةِ وَمَا حَوْلَهَا مِنَ الْقُرَى حَتَّى رَأَيْتُهَا بِعَيْنَيَّ. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ: دَعُوا الْحَبَشَةَ مَا وَدَعُوْكُمْ، وَاتْرُكُوا التُّرْكَ مَا تَرَكُوْكُمْ

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan penggalian Khandaq, ternyata ada sebongkah batu sangat besar menghalangi penggalian itu. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit mengambil kapak tanah dan meletakkan mantelnya di ujung parit, dan berkata: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Terpecahlah sepertiga batu tersebut. Salman Al-Farisi ketika itu sedang berdiri memandang, dia melihat kilat yang memancar seiring pukulan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau memukul lagi kedua kalinya, dan membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Pecah pula sepertiga batu itu, dan Salman melihat lagi kilat yang memancar ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul batu tersebut. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memukul sekali lagi dan membaca: “Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Dan untuk ketiga kalinya, batu itupun pecah berantakan. Kemudian beliau mengambil mantelnya dan duduk. Salman berkata: “Wahai Rasulullah, ketika anda memukul batu itu, saya melihat kilat memancar.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Wahai Salman, engkau melihatnya?” Kata Salman: “Demi Dzat yang mengutus anda membawa kebenaran, betul wahai Rasulullah.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ketika saya memukul itu, ditampakkan kepada saya kota-kota Kisra Persia dan sekitarnya serta sejumlah kota besarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.”

Para shahabat yang hadir ketika itu berkata: “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah rumahrumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian saya memukul lagi kedua kalinya, dan ditampakkan kepada saya kota-kota Kaisar Romawi dan sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.”

Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar membukakannya untuk kami dan memberi kami ghanimah rumah-rumah mereka, dan agar kami hancurkan negeri mereka dengan tangan-tangan kami.”

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa. “Kemudian pada pukulan ketiga, ditampakkan kepada saya negeri Ethiopia dan desa-desa sekitarnya hingga saya melihatnya dengan kedua mata saya.”

Lalu beliau berkata ketika itu: “Biarkanlah Ethiopia (Habasyah) selama mereka membiarkan kalian, dan tinggalkanlah Turki selama mereka meninggalkan kalian.”

Sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, terjadilah apa yang diberitakan oleh beliau. Kedua negara adikuasa masa itu berhasil ditaklukkan kaum muslimin, dengan izin Allah swt.

Dan diriwayatkan oleh Anas ra bahwa kaum Anshar dan Muhajirin mensenandungkan syair saat menggali parit dan memindahkan tanda dari tempatnya:

نحن الذين بايعوا محمدا       على الإسلام ما بقينا أبدا

Kamilah yang telah membai’at nabi Muhammad Sehingga Islam menjadi keyakinan kami selamanya

maka Rasulullah pun menjawab senandung mereka dengan ungkapan

إِنَّ الْخَيْرَ خَيْرُ الآخِرَةِ أَوْ قَالَ اللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُ الآخِرَهْ فَاغْفِرْ لِلاَْنْصَارِ وَالْمُهَاجِرَة

“Sesungguhnya kebaikan itu adalah kebaikan akhirat, atau dalam ungkapan lain : Sesungguhnya tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat, Ya Allah ampunilah kaum muhajirin dan anshar”

Peperangan dimulai

Ketika kaum musyrikin sampai di kota Madinah, mereka terkejut melihat pertahanan yang dibuat kaum muslimin. Belum pernah hal ini terjadi pada bangsa Arab. Akhirnya mereka membuat perkemahan mengepung kaum muslimin. Tidak terjadi pertempuran berarti di antara mereka kecuali lemparan panah dan batu. Namun sejumlah ahli berkuda musyrikin Quraisy, di antaranya ‘Amr bin ‘Abdi Wadd, ‘Ikrimah dan lainnya berusaha mencari jarak lompat yang lebih sempit. Beberapa orang berhasil menyeberangi parit. Merekapun menantang para pahlawan muslimin untuk perang tanding.

Perang Tanding

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menyambut tantangan tersebut. ‘Ali berkata: “Wahai ‘Amr, kau pernah menjanjikan kepada Allah, bahwa tidak seorangpun lelaki Quraisy yang menawarkan pilihan kepadamu salah satu dari dua hal melainkan kau terima hal itu darinya.”

Kata ‘Amr: “Betul.”

Kata ‘Ali: “Maka sungguh, saya mengajakmu kepada Allah dan Rasul-Nya, serta kepada Islam.”

‘Amr menukas: “Aku tidak membutuhkan hal itu.”

Kata ‘Ali pula: “Kalau begitu saya menantangmu agar turun (bertanding).”

Kata ‘Amr: “Wahai anak saudaraku, demi Allah. Aku tidak suka membunuhmu.”

‘Ali menjawab tegas: “Tapi saya demi Allah, ingin membunuhmu.”

‘Amr terpancing, diapun turun dan membunuh kudanya, lalu menghadapi ‘Ali.

Mulailah keduanya saling serang, tikam menikam dengan serunya. Namun pedang ‘Ali bin Abi Thalib berhasil membunuh ‘Amr. Akhirnya para prajurit berkuda kafir Quraisy lainnya melarikan diri.

Tanda-tanda Nubuwwah dalam Peristiwa Khandaq

Dalam peristiwa bersejarah ini, banyak terdapat kejadian luar biasa sebagai salah satu tanda kenabian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sejarawan menukilkan sebagiannya:

Di antaranya apa yang dikisahkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu, dalam Shahih Al-Bukhari (Kitabul Maghazi), bahwa para sahabat mengadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adanya tanah keras yang tidak sanggup mereka gempur. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun, dalam keadaan mereka (termasuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak merasakan makanan sejak tiga hari. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikatkan dua buah batu ke perut beliau untuk menahan lapar.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam turun ke dalam parit lalu meminta seember air, beliau berdoa dan meludahi air itu lalu menuangkannya ke bongkahan tanah keras tersebut. Kemudian beliau memukul tanah itu dengan cangkul hingga menjadi debu.

Ibnu Hisyam menukil pula dari Ibnu Ishaq yang menerima dari Sa’id bin Mina, bahwa dia diceritakan tentang puteri Nu’man bin Basyir yang masih kecil, diperintah oleh ibunya, ‘Amrah bintu Rawahah (saudara perempuan Abdullah bin Rawahah) membawa beberapa butir kurma untuk bekal makan siang ayah dan khali (pamannya). Setelah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia ditanya tentang apa yang dibawanya. Gadis kecil itu menjawab beberapa butir kurma yang akan diberikan kepada ayah dan pamannya untuk makan siang. Oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kurma itu diminta, kemudian beliau letakkan di atas sehelai kain dan beliau doakan. Setelah itu beliau suruh orang memanggil para penggali untuk makan. Merekapun datang mengambil kurma yang ada di atas kain itu dan makan sampai kenyang, sementara kurma itu tetap berserakan di atas kain tersebut.

Hidangan Keluarga Jabir radhiyallahu ‘anhu
Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan pula dalam Shahih keduanya dari Jabir bin Abdullah:

لَمَّا حُفِرَ الْخَنْدَقُ رَأَيْتُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمَصًا شَدِيْدًا فَانْكَفَأْتُ إِلَى امْرَأَتِي فَقُلْتُ: هَلْ عِنْدَكِ شَيْءٌ فَإِنِّي رَأَيْتُ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَمَصًا شَدِيْدًا؟ فَأَخْرَجَتْ إِلَيَّ جِرَابًا فِيْهِ صَاعٌ مِنْ شَعِيْرٍ وَلَنَا بُهَيْمَةٌ دَاجِنٌ فَذَبَحْتُهَا وَطَحَنَتِ الشَّعِيْرَ فَفَرَغَتْ إِلَى فَرَاغِي وَقَطَّعْتُهَا فِي بُرْمَتِهَا ثُمَّ وَلَّيْتُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: لاَ تَفْضَحْنِي بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِمَنْ مَعَهُ. فَجِئْتُهُ فَسَارَرْتُهُ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ذَبَحْنَا بُهَيْمَةً لَنَا وَطَحَنَّا صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ كَانَ عِنْدَنَا، فَتَعَالَ أَنْتَ وَنَفَرٌ مَعَكَ. فَصَاحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا أَهْلَ الْخَنْدَقِ، إِنَّ جَابِرًا قَدْ صَنَعَ سُوْرًا فَحَيَّ هَلاً بِهَلِّكُمْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُنْزِلُنَّ بُرْمَتَكُمْ وَلاَ تَخْبِزُنَّ عَجِيْنَكُمْ حَتَّى أَجِيْءَ. فَجِئْتُ وَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْدُمُ النَّاسَ حَتَّى جِئْتُ امْرَأَتِي فَقَالَتْ: بِكَ وَبِكَ. فَقُلْتُ: قَدْ فَعَلْتُ الَّذِي قُلْتِ. فَأَخْرَجَتْ لَهُ عَجِيْنًا فَبَصَقَ فِيْهِ وَبَارَكَ ثُمَّ عَمَدَ إِلَى بُرْمَتِنَا فَبَصَقَ وَبَارَكَ ثُمَّ قَالَ: ادْعُ خَابِزَةً فَلْتَخْبِزْ مَعِي وَاقْدَحِي مِنْ بُرْمَتِكُمْ وَلاَ تُنْزِلُوْهَا. وَهُمْ أَلْفٌ، فَأُقْسِمُ بِاللهِ لَقَدْ أَكَلُوا حَتَّى تَرَكُوْهُ وَانْحَرَفُوا وَإِنَّ بُرْمَتَنَا لَتَغِطُّ كَمَا هِيَ وَإِنَّ عَجِيْنَنَا لَيُخْبَزُ كَمَا هُوَ

“Ketika penggalian khandaq, aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sangat lapar, maka akupun kembali kepada isteriku dan berkata kepadanya: “Apakah engkau punya sesuatu? Karena aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan sangat lapar”.

Isteriku mengeluarkan karung kulit yang di dalamnya terdapat segantang gandum. Dan kami masih punya seekor kambing kecil. Akupun mulai menyembelih kambing itu sementara isteriku mengadon tepung (membuat roti). Dia pun menyelesaikan pekerjaannya bersamaan dengan aku menyelesaikan pekerjaanku. Lalu aku memotong-motongnya di dalam burmah (periuk dari batu), kemudian aku kembali kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Isteriku berkata: “Jangan membuatku malu di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya”.

Akupun menemui beliau dan membisiki beliau, aku katakan: “Wahai Rasulullah, kami sudah menyembelih seekor kambing kecil dan mengadon segantang gandum yang kami punyai. Jadi, kemarilah engkau dan beberapa sahabatmu”.

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berseru: ‘Wahai para penggali parit, sesungguhnya Jabir sudah menyiapkan hidangan. Marilah segera, kalian semua!’
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Jangan turunkan periuk dan adonan kalian sampai aku datang.’

Akupun pulang dan datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahului kaum muslimin hingga aku menemui isteriku.
Dia berkata: ‘Gara-gara kamu, gara-gara kamu.’
Aku katakan: ‘Sudah aku lakukan apa yang kamu katakan.’

Lalu dia pun mengeluarkan adonan itu dan menyerahkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun meludahinya (meniup/menyemburkan sedikit air liur) dan mendoakan keberkahan padanya, kemudian menuju periuk kami, lalu meludahi dan mendoakan keberkahan padanya. Kemudian beliau berkata: ‘Panggil si pembuat roti agar dia buat roti bersamaku dan ciduklah dari periuk kalian, tapi jangan diturunkan.’

Mereka ketika itu berjumlah seribu orang. Aku bersumpah demi Allah, sungguh semuanya makan sampai mereka tinggalkan (bersisa) dan kembali pulang, sementara periuk kami benar-benar masih mendidih (isinya) sebagaimana awalnya, dan adonan itu juga masih seperti semula.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma)

Setibanya pasukan sekutu di pinggir kota Madinah, mereka terkejut melihat “benteng” pertahanan yang dibuat kaum muslimin bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Strategi semacam ini sama sekali belum pernah dikenal di kalangan bangsa Arab. Mereka berusaha mencari celah sempit untuk masuk ke garis pertahanan kaum muslimin, namun tidak berhasil kecuali beberapa gelintir ahli berkuda mereka seperti ‘Amr bin Abdi Wadd, ‘Ikrimah, dan lainnya. Namun mereka inipun lari tunggang langgang setelah jago andalan mereka mati dibunuh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.

Akhirnya, sekutu membuat perkemahan di seberang parit mengepung kaum muslimin selama satu bulan. Saling lempar panah dan batu masih terjadi dari kedua belah pihak.

Pengkhianatan Yahudi Quraizhah

Sebagaimana telah diceritakan diatas, beberapa tokoh Yahudi menemui para pemimpin Quraisy dan kabilah Arab lainnya untuk menghasut mereka agar memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Orang-orang Yahudi ini menjanjikan akan membantu Quraisy dan sekutu-sekutunya untuk menumpas kaum muslimin. Kemudian tokoh-tokoh Yahudi ini menemui pimpinan Yahudi Bani Quraizhah, Ka’b bin Asad. Mulanya Ka’b menolak menerima kedatangan Huyyai bin Akhthab, tapi dia terus membujuk sampai diterima oleh Ka’b.

Setelah Huyyai masuk, dia berkata: “Aku datang membawa kemuliaan masa. Aku datang dengan Quraisy, Ghathafan, dan Asad berikut para pemimpin mereka untuk memerangi Muhammad.” Aku datang kepadamu dengan membawa pasukan Quraisy beserta para pemimpinnya yang telah kuturunkan di sebuah lembah di dekat Raumah, dan suku Ghatfahan beserta para tokohnya yang telah kuturunkan di ujung Nurqma di samping Uhud. Mereka telah berjanji kepadaku untuk tidak meninggalkan temapat sampai kita berhasil menumpas Muhammad dan orang-orang yang bersamanya”

Ka‘ab menjawab: “Demi Allah, kamu datang kepadaku dengan membawa kehinaan sepanjang jaman … Celaka engkau wahai Huyay. Tinggalkan dan biarkanlah aku karena aku tidak melihat Muhammad kecuali sebagai seorang yang jujur dan setia.“

Namun lama kelamaan karena bujuk rayu Huyay, Ka’b termakan bujukan tersebut. Diapun melanggar perjanjian yang telah disepakati antara orang-orang Yahudi Bani Quraizhah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Namun dia mensyaratkan, apabila mereka tidak berhasil mengalahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya Huyyai masuk ke dalam bentengnya bergabung bersamanya menerima apa yang ditimpakan kepada mereka. Huyyai menyetujuinya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar pula pengkhianatan ini. Beliau mengutus beberapa sahabat; Sa’d bin ‘Ubadah, Sa’d bin Mu’adz, dan Abdullah bin Rawahah serta Khawwat bin Jubair radhiyallahu ‘anhum untuk mencari berita. Ternyata keadaannya jauh lebih buruk dari yang mereka bayangkan. Dengan terang-terangan orang-orang Yahudi mencaci maki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menampakkan permusuhan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan menenangkan para sahabat: “Bergembiralah kalian.”

Tapi keadaan semakin mencekam. Kaum muslimin mulai merasakan tekanan. Kemunafikan mulai muncul. Sebagian Bani Haritsah minta izin pulang ke kota, dengan alasan rumah-rumah mereka tidak terjaga. Bani Salimah pun mulai merasa lemah, tapi Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkan hati mereka sehingga mereka tetap berjuang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman menceritakan kejadian ini:

إِذْ جَاءُوْكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ اْلأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوْبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّوْنَ بِاللهِ الظُّنُوْنَا. هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُوْنَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالاً شَدِيْدًا. وَإِذْ يَقُوْلُ الْمُنَافِقُوْنَ وَالَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا اللهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ غُرُوْرًا. وَإِذْ قَالَتْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ يَا أَهْلَ يَثْرِبَ لاَ مُقَامَ لَكُمْ فَارْجِعُوا وَيَسْتَأْذِنُ فَرِيْقٌ مِنْهُمُ النَّبِيَّ يَقُوْلُوْنَ إِنَّ بُيُوْتَنَا عَوْرَةٌ وَمَا هِيَ بِعَوْرَةٍ إِنْ يُرِيْدُوْنَ إِلاَّ فِرَارًا

“(Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas dan dari bawah kalian, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (kalian) dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian berprasangka terhadap Allah dengan bermacam-macam sangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat. Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: ‘Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.’ Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: ‘Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian.’ Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata: ‘Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).’ Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari.” (Al-Ahzab: 10-13)

Melihat hal ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengajak damai ‘Uyainah bin Hishn dan Al-Harits bin ‘Auf, pemuka suku Ghathafan dengan menyerahkan sepertiga kurma Madinah agar mereka menarik pasukannya. Tawar menawarpun terjadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta pendapat Sa’d bin ‘Ubadah dan Sa’d bin Mu’adz tentang masalah ini.

Keduanya memberikan jawaban tegas: “Wahai junjungan kami, kalau Allah yang memerintahkan anda melakukan ini, kami dengar dan taat. Tapi kalau ini hanya sekedar siasat dari anda, maka kami tidak membutuhkannya. Sungguh, dahulu kami dan mereka sama-sama dalam keadaan menyekutukan Allah dan menyembah berhala, namun mereka tidak pernah bisa menikmati kurma itu kecuali dengan membelinya. Sekarang, di saat Allah telah memuliakan kami dengan Islam, memberi kami hidayah/taufik kepadanya, memuliakan kami pula (dengan mengutus anda kepada kami), apakah kami akan serahkan harta kami kepada mereka?! Demi Allah, kami tidak berikan kepada mereka apapun kecuali pedang!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui pendapat mereka berdua. Beliau berkata: “Itu hanyalah siasat yang aku buat karena aku melihat bangsa Arab menyerang kalian secara serentak.

Strategi Sahabat Nu’man bin Mu’az

Pertolongan Allah yang kedua lahir melalui kepiawaian Nu‘aim bin Mas‘du, seorang dari Kabilah Gatafan yang menjadi muallaf tanpa sepengetahuan teman-temannya. Ia meminta tugas kepada Rasulullah, Dia datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya telah masuk Islam. Perintahkanlah saya berbuat sesuatu apa yang anda inginkan.”

Kepadanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan :
“Diantara kita, engkau adalah satu-satunya orang yang dapat melaksanakan tugas itu. Bila engkau sanggup, lakukanlah tugas itu untuk menolong kita. Ketahuilah bahwa peperangan, sesungguhnya adalah tipu muslihat.“

Setelah itu Nu‘aim pergi mendatangi pemimpin-pemimpin Quraisy. Kepada mereka Nu‘aim memberitahukan bahwa Bani Quraidlah telah menyesal atas apa yang mereka lakukan dan secara sembunyi-sembunyi mereka telah melakukan kesepakatan bersama Nabi saw untuk menculik beberapa peimpin Quraisy dan Ghatfahan untuk diserahkan kepada Nabi saw untuk dibunuhnya. Karena itu, bila orang-orang Yahudi itu datang kepada kalian untuk meminta beberapa orang sebagai sandera, janganlah kalian menyerahkan seorang pun kepada mereka.

Kemudian dia berkata: “Wahai Bani Quraizhah sesungguhnya kalian telah memerangi Muhammad . Sementara jika orang-orang Quraisy mendapat kesempatan tentulah mereka manfaatkan. Jika tidak niscaya mereka akan segera kembali ke kampung halaman mereka dan membiarkan kalian menghadapi Muhammad . Sudah tentu dia akan menghabisi kalian.”
Mereka bertanya: “Lantas apa yg harus kami lakukan wahai Nu’aim?”
Kata Nu’aim: “Kalian jangan mau berperang bersama Quraisy sampai mereka memberi jaminan.” Mereka pun berkata: “Sungguh engkau telah memberikan saran yg tepat.”

Selanjutnya Nu’aim datang menemui orang-orang Quraisy kata kepada mereka: “Kalian sudah tahu kecintaanku kepada kalian juga nasihat-nasihatku.”

Kata mereka: “Benar.”
Kata Nu’aim lagi: “Sebetulnya orang-orang Yahudi menyesal melanggar perjanjian mereka dengan Muhammad dan para sahabatnya. Mereka sudah mengirim utusan kepada } bahwa mereka meminta jaminan dari kalian agar kalian serahkan kepada lantas mereka akan melobi kalian. Kalau mereka meminta jaminan kepada kalian janganlah kalian berikan.”

Setelah itu Nu’aim mendatangi orang-orang Ghathafan dan mengatakan kalimat yang sama dengan yang diucapkan kepada yang lainnya.

Begitu masuk malam Sabtu bulan Syawwal pasukan sekutu itu menemui tokoh-tokoh Yahudi dan mengatakan:

“Kami bukan penduduk asli di sini perbekalan dan sepatu khuf kami sudah rusak. maka marilah bangkit bersama kami agar kita bisa menumpas Muhammad .”

Mendengar hal ini orang-orang Yahudi mengatakan: “Sesungguhnya hari ini adalah hari Sabtu. Dan kalian sudah tahu apa yg menimpa para pendahulu kami ketika mereka mengada-adakan sesuatu pada hari itu. Namun demikian kami juga tidak akan berperang bersama kalian sampai kalian memberi jaminan kepada kami.”

Ketika utusan itu datang menyampaikan hasil kepada mereka orang-orang Quraisy berkata: “Sungguh benar apa yang dikatakan Nu’aim.” Merekapun mengirim utusan lagi kepada orang-orang Yahudi dan mengatakan: “Sungguh kami demi Allah tidak akan menyerahkan apapun kepada kalian. Keluarlah bersama kami sampai dapat menghabisi Muhammad .”

Orang-orang Quraizhah berkata pula: “Sungguh benar apa yg dikatakan Nu’aim.” Lalu kedua saling mengejek.

Demikianlah akhirnya terjadi salah paham di antara mereka dan saling tidak mempercayai. Sehingga masing-masing dari mereka menuduh terhadap yang lainnya sebagai berkhianat.

Pertolongan Allah SWT berupa Angin Topan

Pada suatu malam, badai datang. Angin topan mengacak-ngacak perkemahan pasukan Ahzab. Mereka ketakutan, menyangkan Kaum Muslimin akan datang menyerang pada saat itu. Abu Sufyan segera memerintahkan mereka kembali ke Mekkah. Begitu juga dengan Kabilah Gatafan.

Muslim meriwayatkan dengan sanad-nya dari Hudzaifah bin al-Yaman ra, ia berkata:

“Pada suatu malam dalam situasi perang Ahzab, kami bersama Rasulullah saaw merasakan tiupan angin yang sangat kencang, dan dingin mencekam. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Adakah orang yang bersedia mencari berita musuh dan melaporkannya kepadaku, mudah-mudahan Allah menjadikannya bersamaku pada Hari Kiamat.“ Kami semua diam, tak seorang pun dari kami menjawabnya. Rasulullah saw mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Kemudian berkata:”Bangkitlah wahai Hudzaifah, carilah berita dan laporkanlah kepadaku.“ Maka tidak boleh tidak aku harus bangkit, karena beliau menyebut namaku. Nabi saw berpesan: “Berangkatlah mencari berita musuh dan janganlah engkau melakukan tindakan apapun.“ Ketika aku berangkat dari sisinya aku berjalan seperti orang yang sedang dicengkeram kematian, hingga aku tiba di basis mereka. Kemudian aku lihat Abu Shofyan sedang menghangatkan punggungnya di perapian. Lalu aku pasang anak panah di busur untuk memanahnya, tetapi aku segera teringat pesan Rasulullah saw, “Janganlah engkau melakukan tindakan apapun.“ Kalau aku panahkan pasti akan mengenai pahanya. Kemudian aku kembali dengan berjalan seperti orang yang sedang dalam cengkeraman maut. Setelah aku datang kepada Nabi saw dan menyampaikan berita tentang kaum Musyrikin, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelimuti aku dengan kainnya yang biasa dipakai untuk shalat. Malam itu aku tidur sampai pagi dan dibangunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Bangun, hai tukang tidur.“

Ibnu Ishaq meriwayatkannya dengan tambahan : Kemudian aku masuk di kalangan kaum Musyrikin, ketika angin dan tentara-tentara Allah sedang mengobrak-abrik mereka, menerbangkan kuali, memadamkan api, dan menumbangkan perkemahan. Kemudian Abu Shafyan bangkit seraya berkata: “Wahai kaum Quraisy, setiap orang hendaknya melihat siapa teman duduknya?“ Hudzaifah berkata: “Kemudian aku memegang tangan orang yang berada di sampingku lalu aku bertanya kepadanya: “Siapakah anda?“ Dia menjawab: “Fulan bin Fulan”. Selanjutnya Abu Shofyan berkata: “Wahai kaum Quraisy, demi Allah swt, kalian tidak mungkin lagi dapat terus berada di tempat ini. Banyak ternak kita yang mati. Orang-orang Bani Quraidlah telah menciderai janji dan kita mendengar berita yang tidak menyenangkan tentang sikap mereka. Kalian tahu sendiri kita sekarang sedang menghadapi angin taufan yang hebat. Karena itu, pulang sajalah kalian, dan aku pun akan berangkat pulang.“

Pada keesokan harinya seluruh kaum Musyrikin kembali meninggalkan medang perang, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersama para sahabatnya kembali ke Madinah.

Kaum Muslimin segera menyebut Syukur atas pertolongan Allah SWT. Bertambahlah keimanan mereka dan kepercayaan bahwa Allah SWT selalu memenuhi janji-Nya.

Dalam perang Khandaq ini yang gugur sebagai syuhada dari kalangan kaum muslimin sekitar sepuluh orang.

Hukuman bagi Pengkhianat Yahudi

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat kembali ke Madinah serta meletakkan senjata mereka.
Namun Jibril ‘alaihissalam menemui beliau yang sedang mandi di rumah Ummu Salamah dan berkata: “Engkau sudah meletakkan senjatamu? Sesungguhnya para malaikat belum meletakkan senjata mereka. Majulah menyerang mereka ini yakni Bani Quraizhah. maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berseru:

مَنْ كَانَ سَامِعًا مُطِيْعًا، فَلاَ يُصَلِّيَنَّ الْعَصْرَ إِلاَّ بِبَنِي قُرَيْظَةَ
“Siapa yang mendengar dan taat maka janganlah dia shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.”

Tinggallah Bani Quraizah sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasukannya segera mengepung kaum Yahudi tersebut selama 25 hari. Ketika harapan makin tipis, Pimpinan Bani Quraizah, Ka’ab bin Asad, melontarkan 3 pilihan pada kaumnya: (1) menyerah dan mengikuti agama Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam; (2) Membunuh kaum wanita dan anak-anak, kemudian berperang melawan Umat Islam; atau (3) Tunduk kepada keputusan Muhammad.

Pilihan mereka adalah yang ketiga.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan persoalan ini pada Sa’ad bin Mu’az. Beliau memerintahkan mereka untuk melucuti senjata dan turun dari benteng. Sa’ad memutuskan mereka yang terlibat kejahatan perang akan dihukum mati, sedangkan kaum wanita dan anak-anak ditawan. Harta benda dibagikan pada Kaum Muslimin. Sebuah keputusan yang disetujui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beberapa Ibrah

Peperangan ini juga terjadi karena pengkhianatan dan tipu muslihat orang-orang Yahudi. Merekalah yang menggerakkan menghasut dan menghimpun golongan (Ahzab). Kejahatan dan pengkhianatan ini tidak cukup dilakukan oleh orang-orang Yahudi Bani Nadlir yang telah diusir dari Madinah. Bahkan Banu Quraidlah pun yang masih terikat perjanjian bersama kaum Muslimin kini telah melakukannya. Padahal tidak ada satu pun tindakan kaum Muslimin yang mengundang mereka untuk melanggar perjanjian tersebut.

Kita tidak perlu mengulas kembali peristiwa pengkhianatan ini, karena pengkhianatan-pengkhianatan seperti ini telah menjadi catatan sjearah yang sudah dikenal pada setiap jaman dan tempat.

Sekarang, mari kita kembali kepada peristiwa-peristiwa yang telah kami bentangkan dalam peperangan ini, untuk mencatat beberapa pelajaran dan hukum yang terkandung di dalamnya.

1.- Di antara sarana perang yang digunakan oleh kaum Muslimin dalam peperangan ini ialah penggalian parit. Perang dengan menggali parit ini merupakan peperangan yang pertama kali dikenal dalam sejarah bangsa Arab dan Islam. Karena taktik dan teknik peperangan seperti ini biasanya dikenal oleh bangsa Ajam (non-Arab). Seperti anda ketahui bahwa orang yang mengusulkan cara ini dalam perang Ahzab ialah Salman al-Farisi. Rasulullah sa sendiri mengagumi usulan ini dan segera mengajak para sahabatnya untuk melaksanakannya.

Ini merupakan salah satu dari sejumlah dalil yang menunjukkan bahwa, “Pengetahuan adalah milik kaum Muslimin yang hilang. Di mana saja didapatinya maka mereka berhak mengambilnya daripada orang lain.“ Sesungguhnya syariat Islam, sebagaimana melarang kaum Muslimin mengikuti orang lain secara membabi buta, juga mengajukan kepada mereka untuk mengambil dan mengumpulkan nilai-nilai kebaikan dan prinsip-prinsip yang bermanfaat di mana saja didapatinya. Kaidah Islam dalam masalah ini ialah bahwa seorang Muslim tidak boleh mengabaikan akalnya yang merdeka dan pikirannya yang cermat dalam segala perilaku dan urusannya. Dengan demikian maka dia tidakakan dapat dikuasai dan dibawah ke mana saja oleh sistem yang bisa diterima oleh akal sehat dan sesuai dengan pirnsip-prinsip syariat Islam.

Sikap yang digariskan Allah swt kepada seorang Muslim ini hanya munculdari sumber utama yaitu kehormatan yang ditetapkan Allah swt kepada manusia sebagai tuan (pemimpin) segenap makhluk. Praktek ubudiyah kepada Allah swt dan kepatuhan tehradap Hukum-hukum Syariatnya hanyalah merupakan jaminan untuk memelihara kehormatan dan kepemiminan tersebut.

2.- Apa yang telah kami sebutkan tentang kerja para sahabat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggali parit merupakan suatu pelajaran besar yang menjelaskan hakekat persamaan yang ditegakkan oleh masyarakat Islam di antara seluruh anggotanya. Ia juga bukan sekedar slogan yang menarik untuk mengelabui masyarakat. Tetapi merupakan asas yang benar-benar memancarkan semua nilai dan prinsip Islam baik secara lahiriah ataupun batiniah.

Anda lihat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan kaum Muslimin untuk menggali parit sementara dia sendiri pergi ke istana mengawasi mereka dari kejauhan. Beliau juga tidak datang kepada mereka dalam suatu pesta yang meriah untuk meletakkan batu pertama pertanda dimulainya pekerjaan kemudian setelah itu pergi meninggalkan mereka. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung berperan aktif menggali bersama para sahabatnya sampai pakaian dan badannya kotor bertaburan debu dengan tanah galian sebagaimana para sahabatnya. Mereka bersahut-sahutan mengucapkan senandung ria, maka beliau pun ikut bersenandung untuk menggairahkan semangat mereka. Mereka merasakan letih dan lapar, maka beliau pun yang yang paling letih dan lapar di antara mereka. Itulah hakekat persamaan antara penguasa dan rakyat, antara orang kaya dan orang miskin, antara Amir dan rakyat jelata, yang ditegakkan oleh syariat Islam. Seluruh cabang syariat dan hukum Islam didasarkan kepada prinsip ini dan untuk menjamin terlaksananya hakekat ini.

Tetapi janganlah anda menamakan hal ini dengan istilah demokrasi dalam perilaku atau pemerintahan. Prinsip persamaan dan keadilan ini sama sekali tidak dapat dipersamakan dengan demokrasi manapun. Karena sumber keadilan dan persamaan dalam Islam ialah ubudiyah kepada Allah swt yang merupakan kewajibab seluruh manusia. Sedangkan sumber demokrasi ialah pendapat mayoritas atau mempertuankan pendapat mayoritas atas orang lain, betapa pun wujud dan tujuan pendapat tersebut.

Oleh karena itu, Syariat Islam tidak pernah memberikan hak istimewa kepada golongan atau orang tertentu. Juga tidak pernah memberikan kekebalan kepada kelompok tertentu betapapun motivasi dan sebabnya, karena sifat ubudiyah (kehambaan kepada Allah swt) telah meleburkan dan menghapuskan semua itu.

3.- Dalam peristiwa sirah ini pula terkandung pelajaran lain yang mengungkapkan potret Kenabian dalam sosok kepribadian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menampakkan kecintaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kasih sayangnya kepada mereka. Dan memberikan contoh lain dari perkara luar biasa dan mukjizat yang dianugerahkan Allah kepada Nabi-Nya.

Pribadi Kenabiannya tampak pada perjuangannya menghadapi rasa lapar yang dialaminya pada saat bekerja bersama para sahabatnya, sampai-sampai beliau mengikatkan batu pengganjal ke perutnya untuk menghilangkan rasa nyeri dan sakit di lambungnya akibat lapar. Apakah gerangan yang membuat beliau tahan menghadapi penderitaan dan kesulitan seperti ini? Adakah karena ambisinya kepada kepemimpinan? Ataukah karena kerakusannya terhadap harta kekayaan dan kekuasaan? Ataukah karena keinginannya untuk mendapatkan pengikut yang selalu mengawalnya setiap saat? Semua itu bertentangan dengan diametral dengan penderitaan dan perjuangan yang dilakukannya itu. Orang yang tamak atas kedudukan, kekuasaan atau kekayaan tidak akan tahan bersabar menanggung penderitaan seperti ini.

Yang membuatnya sanggup menghadapi semua itu hanyalah tanggung jawab risalah dan amanah yang dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan memperjuangkannya kepada manusia dalam suatu perjuangan yang memiliki tabiat seperti itu. Itulah pribadi Kenabian yang tampak pada kerjanya bersama sahabat ketika menggali parit.

Sedangkan kecintaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya dapat anda lihat jelas dalam sikap responsifnya terhadap undangan Jabir untuk menikmati hidangan yang hanya sedikit itu.

Sesuatu yang mendorong Jabir untuk mengundang Nabi saw ialah pemandangan yang menyedihkan. Yaitu ketika melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikatkan batu ke perutnya karena menahan lapar. Jabir tidak mendapatkan makanan di rumahnya kecuali untuk beberapa orang, sehingga dia mengundang beberapa orang saja.

Tetapi mungkinkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan para sahabatnya bekerja sambil menahan lapar sementara dirinya bersama tiga atau empat orang sahabatnya beristirahat menikmati hidangan? Sesungguhnya kasih sayang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya lebih besar ketimbang kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Jabir terpaksa melakukan tindakan itu, sebenarnya wajar, karena dia sebagaimana manusia biasa tidak dapat bertindak kecuali sesuai dengan sarana material yang dimilikinya. Makanan yang ada padanya tidak mencukupi, menurut ukuran manusia biasa, kecuali untuk beberapa orang saja, sehingga dia hanya mengundang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa orang sahabatnya.

Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan pernah terpengaruh oleh pandangan Jabir tersebut. Pertama, karena tidaK mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutamakan dirinya daripada para sahabatnya dalam menikmati hidangan dan istirahat. Kedua, karena tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerah kepada faktor-faktor material dan batas-batasnya yang bisa membelenggu manusia. Tetapi karena Allah swt, semata sebagai Pencipta segala sebab maka mudah bagi-Nya untuk memberkati makanan yang sedikit sehingga mencukupi orang banyak.

Demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, memiliki pandangan bahwa dirinya dan para sahabatnya adalah saling takaful (sepenanggungan). Saling berbagi rasa baik dalam suka atau pun duka. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh Jabir pulang untuk mempersiapkan makanan bagi mereka, sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil para sahabatnya untuk menikmati hidangan besar di rumah Jabir.

Mukjizat yang terjadi dalam kisah ini ialah berubahnya seekor kambing kecil milik Jabir menjadi makanan yang banyak dan mencukupi ratusan sahabat, bahkan masih bersisa banyak sehingga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusulkan kepada Shahibul bait (istri Jabir) agar membaginya kepada orang lain. Mukjizat yang mengagumkan ini dianugerahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghargaan Ilahi karena cintanya kepada para sahabatnya dan sikapnya yang tidak mau menyerah kepada faktor-faktor material karena keyakinannya kepada kekuasaan Allah swt, yang mutlaq.

Apa yang saya inginkan dalam masalah ini ialah supaya para pembaca menyadari adanya dukungan Ilahi yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui sebab-sebab material. Hal itu merupakan salah satu faktor terpentig untuk menonjolkan pribadi Kenabiannya kepada para pengkaji dan pemangat sirah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Faktor ini dapat kita jadikan sebagai dalil yang kuat untuk menghadapi mereka yang tidak mau mengakui aspek Kenabian pada pribadi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4.- Apakah gerangan hikmah musyawarah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sebagian sahabatnya, untuk menawarkan perdamaikan kepada banu Ghatfahan dengan imbalan memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah kepada mereka asalkan mereka bersedia menarik dukungannya kepada kaum Quraisy dan golongan-golongan lainnya? Apakah dalil Syariat yang dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran ini ?

Hikmahnya ialah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui sejauh mana para sahabatnya itu telah memiliki kekuatan moral dan sikap tawakal kepada pertolongan Allah swt pada saat menghadapi kepungan kaum Musyrikin secara mendadak itu, di samping melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh banu Quraidlah. Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti telah anda ketahui bahwa ia tidak suka menyeret para sahabatnya kepada suatu peperangan atau petualangan yang mereka sendiri belum cukup memiliki keberanian untuk memasikunya, atau tidak meyakini segi-segi positifnya. Hal ini termasuk salah satu uslub tarbiyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling menonjol kepada para sahabatnya. Oleh sebab itu, beliau mengemukakan bahwa pandangan itu bukan ketetapan dari Allah, tetapi sekedar pandangan yang dikemukakan dalam rangka upaya menghancurkan kekuatan kaum Musyrikin apabila mereka (para sahabat) tidak memiliki kemampuan untuk menghadapinya.

Dalil syariat yang menjadi landasan pemikiran ini ialah prinsip bahwa syura itu dilakukan pada masalah yang tidak ditegaskan oleh nash. Tetapi setelah itu tidak berarti bahwa kaum Muslimin boleh memberikan sebagian tanah mereka atau hasil panen buminya kepada musuh apabila mereka (musuh) menyerangnya, demi untuk menghentikan serangan. Karena telah disepakati dalam dasar-dasar Syariat Islam bahwa tindakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) ialah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya yang telah dilaksanakannya, kemudian tidak ditentang oleh kitab Allah (al-Quran). Adapun hal-hal yang masuk ke dalam batas-batas usulan (dalam permusyawaratan) dan dengar pendapat semata-mata, tidak dapat dijadikan sebagai dalil. Karena diadakannya musyawarah itu, pertama, mungkin sekedar untuk menjajagi mentalitas seperti yang disebutkan di atas. Yakni sebagai amal tarbawi (pembinaan) semata-mata. Kedua, seandainya pun telah dilaksanakan mungkin setelah itu datang sanggahan dari kitab Allah, sehingga tidak lagi memiliki nilai sebagai dalil Syariat.

Tetapi para Ulama risah dalam masalah ini telah menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sampai menjadi mengadakan perdamaian dengan kabilah Ghatfahan. Bahkan sebenarnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memiliki keinginan untuk berdamai dengan Bani Ghatfahan. Apa yang diusulkan hanyalah sekedar sebagai manuver dan penjajagan.

Hal ini kami katakan karena ada sementara pihak di masa sekarang ini yang mengemukakan pendapat aneh : Bahwa Kaum Muslimin harus membayar jizyah (upeti) kepada non-Muslim manakala diperlukan. Dengan alasan bahwa Nabi saw pernah meminta pandangan para sahabatnya ketika perang Ahzab untuk melakukan hal tersebut.

Mungkin anda bertanya: “Seandainya kaum Muslimin terpaksa karena lemah harus melepas sebagian harta mereka demi untuk melindungi kehidupan mereka dan khawatir akan dimusnahkan semuanya, apakah mereka tidak boleh melakukan itu ?

Jawabannya, banyak sekali kondisi yang menunjukkan betapa harta kaum Muslimin dirampas dan dijadikan barang rampasan oleh musuh-musuhnya. Banyak kaum kafir yang telah menyerbu negeri Islam dan menguras kekayaannya. Tetapi kaum Muslimin tidak menerima kenyataan ini secara suka rela atau karena mengikuti fatwa. Mereka dipaksa harus tunduk kepada kondisi tersebut. Kendatipun demikian mereka senantiasa mencari dan menunggu kesempatan untuk melawan musuh mereka. Anda tentunya tahu bahwa hukum-hukum Syariat Islam ditujukan kepada orang-orang yang tidak dipaksa, sebagaimana tidak ditujukan kepada anak-anak kecil atau orang gila.

Oleh karena itu, adalah keliru dan sia-sia belaka jika hukum taklif itu ditetapkan kepada orang-orang yang berada di luar batas taklif.

5.- Bagaimana dan dengan sarana apa kaum Muslimin berhasil memetik kemenangan atas kaum Musyrikin dalam peperangan ini ?

Sebagaimana kita ketahui bahwa sarana yang digunakan Rasulullah saw dalam peperangan ini (perang Khandaq) sama dengan sarana yang pernah digunakan dalam perang Badr. Yaitu sarana mendekatkan diri kepada Allah swt. Sarana inilah yang senantiasa digunakan Rasulullah saw setiap kali menghadapi musuh di medan jihad. Sarana yang mutlak harus digunakan oleh kaum Muslimin jika mereka ingin memetik kemenangan.

Bagaimana kaum Musyrikin yang berjumlah banyak itu bisa terkalahkan, setelah kaum Muslimin menunjukkan keteguhan, kesabaran, dan kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada Allah swt. Dapat kita baca dalam penjelasan Allah swt di dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah swt, (yang telah dikaruniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin taufan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lari perlihatanmu dan hatimu naik mendesak sampai ke tenggorokkan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka .. sampai dengan firman Allah, “Dan Alah yang menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereaka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang Mukmin dari peperangan . Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.“ QS al-Ahzab : 9-25

Sesungguhnya pertolongan Allah swt yang selalu terulang dalam peperangan-peperangan Rasulullah saw ini tidak berarti menggalakkan kaum Muslimin untuk melakukan “petualangan“ dan jihad tanpa persiapan dan perencanaan. Ia hanya menjelaskan bahwa setiap Muslim harus mengethaui dan menyadari bahwa sarana kemenangan yang terpenting, disamping sarana-sarana yang lainnya, ialah kesungguhan dalam meminta pertolongan kepada Allah swt, dan mengikhlaskan ubudiyah hanya kepada-Nya. Seluruh sarana kekuatan tidak akan berguna apabila sarana ini tidak terpenuhi secara baik. Jika sarana ini telah dipersiapkan secara memadai oleh kaum Muslimin maka Allah swt akan memberikan beraneka mukjizat kemenangan.

Jika bukan karena pertolongan Allah swt dari manakah datangnya angin topan yang memporak-porandakan tentara-tentara Musyrikin itu sementara kaum Muslimin tenang tanpa merasakannya? Di pihak Musyrikin angin itu menghempaskan kemah-kemah mereka, menerbangkan kuali-kuali mereka, dan mengguncangkan hati mereka. Tetapi di pihak kaum Muslimin ia adalah angin sejuk yang menyegarkan.

6.- Pada peperangan ini Rasulullah saw tidak sempat shalat Ashar karena kesibukkannya menghadapi musuh sehingga beliau mengqadla-nya setelah matahari terbenam. Di dalam beberapa riwayat, selain dari Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa shalat yang terlewatkan lebih dari satu shalat, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakannya secara berturut-turut di luar waktunya.

Ini menunjukkan dibolehkannya mengqadlah shalat yang terlewatkan. Kesimpulan ini tidak dapat dibantah oleh pendapat yang mengatakan bahwa penundaan shalat karena kesibukkan seperti itu dibolehkan pada waktu itu, namun kemudian dihapuskan ketika shalat khauf disyariatkan kepada kaum Muslimin, baik yang berjalan kaki ataupun yang berkendaraan. Tetapi penghapusan itu seandainya benar bukan terhadap dibolehkannya mengqadlah. Ia hanya menghapuskan bolehnya menunda shalat karena kesibukkan. Yakni penghapusan bolehnya menunda tidak berarti juga penghapusan terhadap bolehnya mengqadlah. Dibolehkannya mengqadlah tetap sebagaimana ketentuan semula. Di samping itu, dalil yang pasti menegaskan bahwa shalat khauf disyariatkan sebelum peperangan ini, sebagaimana telah dibahas ketika membicarakan perang Dzatur Riqaa‘.

Di antara dalil lain yang menunjukkan bolehnya qadlah shalat ialah riwayat yang disebutkan di dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada waktu berangkat kembali ke Madinah dari perang Ahzab. “Janganlah ada seorang pun yang shalat Ashar (atau Zhuhur) kecuali setelah sampai di bani Quraidlah.“ Kemudian di tengah perjalanan datanglah waktu shalat Ashar. Sebagian berkata, “Kami tidak akan shalat sebelum smapai ke sana (Bani Quraidlah)“. Sedangkan sebagian yang lainnya berkata, “Kami akan shalat, Beliau tidak memaksudkan itu (melarang shalat)“. Akhirnya kelompok pertama melaksanakan shalat setelah sampai di Banu Quraidlah sebagai shalat qadlah.

Kewajiban mengqadlah shalat yang terlewatkan ini sama saja, baik terlewatkan karena tidur, lalai atau sengaja ditinggalkan. Karena setelah adalnya dalil umum yang mewajibkan qadlah shalat yang terlewatkan tidak ada dalil yang mengkhususkan syariat qadlah ini dengan sebab-sebab tertentu. Para sahabat yang meninggalkan shalatnya di tengah perjalannya menuju Bani Quraidlah itu bukan karena tidur atau lupa. Oleh sebab itu, adalah keliru jika syariat qadlah shalat yang terlewatkan ini dikhususkan bagi orang yang tidak sengaja melewatkannya. Tindakan ini seperti orang yang mengkhususkan qadlah shalat dengan shalat wajib tertentu saja, tanpa landasan syariat.

Barangkali ada sebagian orang yang memahami hadits di bawah ini sebagai dalil yang mengkhususkan keumuman syariat qadlah itu :
“Siapa saja yang shalatnya terlewatkan karena tertidur atau lupa maka hendaklah ia melaksanakan pada waktu ia teringat.“

Tetapi pemahaman ini tidak dapat diterima. Sebab, tujuan utama Hadits ini bukan hanya memerintahkan orang yang lupa dan tertidur untuk mengqadlah shalatnya, tetapi tujuannya ialah untuk menegaskan keterangan pada waktu ia teringat. Keterangan ini menjelaskan bahwa orang yang ingin mengerjakan shalatnya yang terlewatkan tidak disyariatkan untuk menunggu datangnya waktu shalat tersebut pada hari berikutnya. Tetapi ia harus segera mengqadlah pada saat ia teringat, kapan saja. Dengan demikian mafhum mukhalafah dari hadits di atas tidak dapat dibenarkan.

Sumber: al-ikhwan.net, Ensiklopedi Islam, Vol.3, Sirah Nabawiyah karangan Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press

36 KomentarDitulis oleh pada Maret 4, 2010 in Sirah Nabawiyah

36 responses to “Perang Khandaq (Ahzab) – Perang Parit

  1. mya

    Juni 28, 2010 at 10:33 PM

    sy sedang mencari data mengenai peperangan khaandaq. apa yg dipaparkn di sini byk membantu pencarian s. tq.

    • faris

      Februari 11, 2012 at 7:35 PM

      ini memanh bagos…

  2. aisha

    Juli 29, 2010 at 4:41 PM

    wau,,nampaknya maklumat ini melebihi apa yang saya maukan…syukran kasiran

    • Nabil

      Agustus 2, 2010 at 11:12 AM

      @mya dan aisha….syukron sudah berkunjung ke website ana. Mudah-mudahan dapat membantu referensi tambahan mbak

  3. una

    Oktober 8, 2010 at 4:41 PM

    minta ijin ngopy njih

    • Nabil

      Oktober 13, 2010 at 10:48 PM

      Silahkan di-copy, semoga bermanfaat

  4. Nda

    November 6, 2010 at 2:58 AM

    Sjkh ijin copas ^^

  5. lahudi

    November 12, 2010 at 10:11 AM

    Trim atas infonya. moga dapat bermanfaat bagi kita dan sekalian minta ijin untuk copy artikelnya buat presentasi.

  6. kKit Yeng

    Maret 22, 2011 at 7:58 PM

    Thanks for ur info… It helps me a lot….~.~

  7. bdk smkAhmad

    September 5, 2011 at 10:54 AM

    timer kasih sayang dr sy……..dpt byk manfaat utk gi perang pasni….

  8. Nabil

    September 12, 2011 at 2:30 PM

    @Nda : Silahkan, semoga bermanfaat
    @Lahudi : Semoga sukses presentasinya mas
    @ Kit Yeng : you’re welcome….hope that this article open your mind about Islam a lot more 🙂
    @ smkAhmad : Alhamdulillah kalau bermanfaat…

  9. meita

    Oktober 30, 2011 at 3:53 PM

    makasiiihh bgttt buat infonya, karena blog ini aku bisa ngerjain tugasku…

    • nabilmufti

      November 1, 2011 at 9:48 AM

      alhamdulillah semoga tugasnya mendapat nilai yang bagus ya…

  10. Lulu Nur Afifah

    Februari 10, 2012 at 2:56 PM

    Makasih buat infonya yaaa 🙂 Alhamdulillah jadi bisa bantu bikin tugas.. Rapih banget isinya, makasih ya buat penulis 🙂

  11. Hanif

    Februari 12, 2012 at 10:33 PM

    Terima Kasih Kak Info2Nya Bisa Bermanfaat Bagi Saya ,, Bisa Menjadi Jawaban PR Saya… Terimakasih Sekali Lagi

  12. Nabil

    Februari 13, 2012 at 9:29 AM

    @Lulu & Hanif : Alhamdulillah….Segala puji hanya untuk Allah. Semoga mendapat nilai yang memuaskan ya…

  13. Emma wardhani

    Februari 17, 2012 at 1:25 PM

    Ana paham kenapa murobbi minta ana baca siroh perang parit…subhanallah…tambah kecintaan ana pada nabi muhammad saw…

  14. dila

    Februari 25, 2012 at 8:36 AM

    Afwan, mt ijin mngcopy ibrahnya ya. Jazakumullah

  15. akbar hamidun pratama

    Agustus 3, 2012 at 7:27 AM

    subhanallah maha suci ALLAH atas segala pertolongan serta nikmatnya.

  16. fieeana

    September 25, 2012 at 6:21 PM

    rosulullah panglima paling dahsyat se-dunia

  17. Santoso Edi

    November 24, 2012 at 6:33 AM

    ijin copas…

  18. syahrilhudasip

    Januari 11, 2013 at 10:13 PM

    Reblogged this on syahril huda and commented:
    #Materi Dauroh untuk besok, semoga besok bisa memaparkan dengan baik 🙂

  19. Amirah Tsabita Jahra

    September 30, 2013 at 4:21 AM

    syukran ats infonya…..

  20. Anas Firdaus

    Oktober 25, 2013 at 4:02 PM

    sebenarnya kalau kita perhatikan secara seksama dari kisah perang khandaq ini, secara tidak langsung telah dilakukan sebuah prosesi perpolitikan yang begitu Luar Biasa yang telah rasul SAW ajarkan

  21. Jimi Roy

    November 15, 2013 at 3:40 PM

    Ibroh yang bisa diambil pelajaran adalah:
    1, Prinsip mustawarah mengambil pendapat yang terbaik Salman Alf kendatipun bekas budak,
    2. contoh cara Rasul dalam memimpin Perang sebagai seorang Nabi terjun langsung sbg, panglima perang membaur dengan anak buahnya dalam memberikan semanagat
    3. Jika beriman dan bertaqwa sekalipun sedikit,musuh jebih besar jumlahnya tak perlu takut dan gentar pasti pertolongan Allah datang.
    4. Tidak menyalahi perintah apapun yang terjadi wajib dihadapi(tdk melanggar perintah)
    .5. Maha Benar Allah dengan janjinya, jika yaqin bertaqwa pasti dimenangkan dan selamatkan Allah sekalipun sedikit jumlahnya
    6. Kebathilan akan hancurm kebenaran pasti menang

  22. Azzahra Nusya

    Mei 15, 2014 at 5:34 PM

    terima kasih atas infonya

  23. anto

    Juni 11, 2014 at 11:22 AM

    mantaf informasinya — selalu menarik mengikuti proses perang ahzab —

  24. assrory

    Juni 12, 2014 at 11:56 AM

    ini bagus sekali makasih lengkap sekali

  25. assrory

    Juni 12, 2014 at 4:06 PM

    lupa hehehe saya ijin copy juga yah

  26. Rukiah Kiki

    Agustus 18, 2014 at 8:41 PM

    TERIMA KASIH, INI SANGAT MEMBANTU SAYA…….IZIN COPAS YA!!!!

  27. pei

    November 11, 2014 at 8:40 AM

    good ^^

  28. Tatang Kartiwa Az

    Desember 3, 2014 at 12:32 AM

    iZIN cOPAS PAK uSTAD. . . TRIMA KASIH SEBELUMNYA

  29. abu dira syifa

    Maret 15, 2016 at 6:59 PM

    Reblogged this on ABUDIRA FOREVER.

  30. dharvin

    Juni 6, 2016 at 1:28 PM

    masya allah subhanallah , saya izin copy ya 🙂

  31. Faz

    Agustus 20, 2017 at 7:24 PM

    Apa kesan kesan perang khandaq pada zaman sekarang?

Tinggalkan Balasan

 

 

Design a site like this with WordPress.com
Get started